Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)
Di tengah Wabah Corona yang melanda negeri ini, penguasa berencana menggelar Konser. Ini bukan recana biasa karena digagas oleh orang-orang hebat yang luar biasa. Ya, Para “Punggawa” Pancasila yang digaji besar untuk memikirkan solusi bangsa yang sesuai Pancasila.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akan menggelar konser solidaritas kemanusiaan di tengah wabah corona. Konser tersebut hasil kerjasama BPIP dengan MPR RI, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Indika Foundation, dll. Konser bertajuk ‘Bersatu Melawan Korona’ itu Rencananya digelar pada Minggu (17/5/2020) pukul 19.30 WIB dan disiarkan di berbagai saluan televisi. (suara.com)
Meski sudah diklarifikasi bahwa konser itu Virtual, namun tetap saja dikritik publik. Pasalnya, selain ditengah wabah corona, di sisi lain sebagian anak negeri ini juga sedang khusyuk ibadah ramadhan. Mengisi bulan suci dengan banyak do’a agar wabah corona segera berakhir. Bahkan kini sedang fokus ‘berburu’ lailatul Qadar. Suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Kita tahu bahwa Wabah Corona itu bukan datang secara kebetulan. Didunia ini tak ada yang bisa terjadi tanpa ijin dari Allah yang Maha Kuasa. Bahkan banyak negara Maju yang sombong dan merasa hebat bisa mengatasi wabah ini justru banyak korban yang bergelimpangan.
Publik tentu maklum jika yang digelar BPIP itu doa bersama, atau taubat nasional, atau sejenisnya. Dari kebijkan konser di tengah wabah corona dan di bulan suci ini, dapat kita pahami 3 tiga hal:
PERTAMA; Miskin empati dan tak sensitif. Publik mengkritik itu tanda sayang kepada negeri ini. Ditengah wabah corona yang telah menelan korban ribuan nyawa anak negeri ini, tentu layak jika berbela sungkawa. Ikut berduka atas jatuhnya ribuan korban sakit dan korban nyawa.
Ketika ada tetangga kita meninggal, maka umumnya kita akan sensitif dan menunjukkan rasa empati kita dengan ucapan bela sungkawa. Selanjutnya mendatanginya dan memberikan bantuan untuk meringankan bebannya sesuai kemampuan.
Coba anda bayangkan, jika saat tetangga kita meninggal lalu kita menggelar konser. Kemudian kita pun berdalih, hasil konser itu akan diberikan untuk membantunya.
KEDUA; Minimnya toleransi. Selain ditengah wabah corona, saat ini pun ditengan bulan suci Ramadhan. Selayaknya para “Punggawa” Pancasila di BPIP sangat paham itu. Bagaimana toleransi dikembangkan untuk menghargai anak negeri yang sedang ibadah di Bulan suci.
Apalagi kini kita di penghujung Bulan suci. Apakah itu waktu yang tepat untuk konser nasional? Apakh contoh yang dinamakan toleransi dan sangat pancasilais? Semestinya BPIP lebih paham itu.
KETIGA; Miskin inovasi dan kreatifitas. Wajar jika publik mengkritik rencana konser ini. semestinya para punggawa BPIP yang digaji selangit itu bisa meluncurkan program yang inovatif. Apakah tak ada lagi rencana yang lebih ivovatif selain konser? Misalnya, taubat nasional, Doa bersama, renungan bersama, dll.
Padahal, menurut publik masih ada banyak program lainnya yang bisa dilahirkan oleh BPIP di tengah sengkarut polemik imbas virus corona. Apalagi anggota BPIP itu bukan orang sembarangan. Mereka orang pilihan yang digaji ratusan juta.
Publik pun menyinggung soal gaji BPIP yang besar itu. “Cuma segitu kehebatannya BPIP? Digaji gede hasilnya hanya bisa bikin konser…” kata @xani021. “Hanya bisa konser, mereka tak bisa buat solusi tentang Pancasila,” ungkap @cintangku206. “Biaya konsernya mahal nggak ya? Coba dikonversi dalam sembako,” tutur@misbahwiy
Wajar saja jika banyak publik yang mengritik. Apalagi konser tersebut rencananya akan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Persiden Maruf Amin, Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR RI Bambang Soestatyo, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo, serta artis-artis ternama sebagai pengisi acara seperti Judika, Rossa, Via Vallen dan lainnya.
Jika konser ini terus digelar maka semakin mengkonfirmasi rezim ini miskin empati dan sensitifitas serta miskin inovasi. Jika tetap juga konser dibulan Suci ini, semakin menguatkan dugaan Publik yang menilai bahwa rezim intoleran dan anti islam.
Tentu kritik publik ini mesti dipandang sebagai wujud sayang kepada penguasa dan negeri ini. Agar terhindar dari kebijakan zalim ditengah wabah corona. Tabiik.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.