Youtuber Ferdian Paleka akhirnya ditangkap polisi setelah menjadi buron. Polisi hanya membutuhkan waktu beberapa hari saja untuk menangkap Ferdian. Dia ditangkap di Tol Tangerang-Merak di KM 9 dari Merak saat menuju Jakarta. Ferdian ditangkap lantaran membuat video prank bingkisan yang berisi sampah.
Dalam pelariannya, Ferdian Paleka sempat bersembunyi di sejumlah lokasi. Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jabar Komisaris Besar Hendra Suhartiono menuturkan, saat di Palembang, Ferdian Paleka bersembunyi di rumah rekannya di Ogan Ilir.
Namun, ketika polisi mengetahui jejaknya, Ferdian kembali melarikan diri dengan menyebrang ke Pelabuhan Bakauheni-Merak.
“Dikejar ke Palembang, melarikan diri nyebrang lagi ke Pelabuhan Bakauheni-Merak,” kata Kasatreskrim Polrestabes Bandung Galih Indragiri.
Tak lama di Ogan Ilir, Ferdian memutuskan kembali ke Bandung. Mencoba menghilangkan jejak, pemuda tersebut kerap mengganti nomor ponselnya agar sulit dilacak. Tak patah arang, polisi gigih terus mengejar Ferdian.
Saat dalam perjalanan ke Bandung itulah tim gabungan Satreskrim Polrestabes Bandung dan Jatrantas Polda Jabar berhasil menangkapnya di Tol Jakarta-Merak, Tangerang, Jumat (8/5/2020) dini hari.
Lalu bagaimana nasib delapan tersangka KPK yang sampai saat ini masih buron?
Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku masih memburu delapan tersangka koruptor tersebut. Kedelapan buronan tersebut adalah caleg PDIP Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamag Agung (MA) Nurhadi, menantu Nurhadi atau bertindak sebagai swasta Rezky Herbiyono.
Kemudian Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto, pemilik perusahaan pertambangan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan. Mantan Panglima GAM Wilayah Sabang Izil Azhar alias Ayah Marine, Pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan hingga kini pihaknya masih terus mencari kedelapan buronan tersebut.
“Kami tidak pernah berhenti melakukan upaya pencarian dan pengejaran terhadap tersangka berstatus DPO,” kata Firli kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Oleh karena itu, kata Firli, meski memiliki keterbatasan di tengah pandemi Corona, KPK tetap bekerja dengan prioritas. “Hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh,” ujar dia.
Firli menegaskan, bahwa dari kedelapan buronan beberapa diantaranya sudah ditetapkan sebagai DPO pada masa kepemimpinan sebelumnya.
“Para DPO, adalah tersangka yang telah ditetapkan di masa lalu kecuali Harun Masiku,” kata Firli.
Agar peristiwa ini tak terulang, kata Firli, kedepan KPK akan langsung menangkap tersangka jika barang bukti sudah cukup. Baru kemudian diumumkan ke publik.
“Ini agar tersangka tidak punya waktu persiapan untuk melarikan diri atau menghilangkan barang bukti,” kata Firli.
Sementara Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menegaskan institusinya serius menangkap para buron kasus tindak pindana korupsi.
“Kami sangat sangat serius. Tapi persoalannya bukan hanya pada tataran itu. Ini sedang kami evaluasi, praktek yang membuat para tersangka ‘potensi’ melarikan diri,” kata Nawawi.
Nawawi menjelaskan, para tersangka tersebut sempat kabur lantaran sejak pengumuman status tersangka, terkadang memakan waktu lama untuk masuk ke tahapan pemanggilan terhadap mereka.
“Akibatnya, itu yg menjadi ‘ruang’ bagi tersangka ‘untuk melarikan diri’,” beber Wakil Ketua KPK Nawawi.
Nawawi melanjutkan, adanya praktek memberi potensi memberi ruang para tersangka melarikan diri yang saat ini dibenahi oleh lembaga antirasuah.
“Kita mulai dengan model saat pengumuman tersangka, tersangka sudah ditangkap terlebih dahulu, saat diumumkan statusnya, langsung dimulai dengan tindakan penahanan. Ini untuk meminimalisir banyaknya tersangka melarikan diri,” harap dia menandasi.
Sementara, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menegaskan bahwa sampai saat ini KPK terus bekerja mencari kedelapan buronan tersebut.
Diragukan ICW
Indonesia Corruption Watch (ICW) meragukan KPK dapat menangkap delapan buron kasus korupsi. Sebab, ICW mengaku tidak terlihat komitmen serius dari pimpinan KPK pada sektor penindakan.
“Buktinya Harun Masiku yang sudah jelas-jelas berada di Indonesia saja tidak mampu diringkus oleh KPK,” ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Menurut dia, perlahan tapi pasti, KPK benar-benar menjadi lembaga yang tidak lagi disegani di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
“Bahkan tak salah jika publik banyak menilai KPK di era Firli Bahuri tidak lagi menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi, akan tetapi berubah menjadi ‘Komisi Pembebasan Koruptor’,” ujar Kurnia.
Kurnia mengatakan, banyaknya tersangka yang melarikan diri dari jerat hukum, merupakan bukti KPK tak lagi bertaring.
“Akhirnya model penindakan senyap yang selama digaungkan oleh Ketua KPK terbukti. KPK benar-benar senyap, minim penindakan, surplus buronan,” ucap Kurnia menegaskan.
ICW pun, lanjut dia, tidak lagi kaget melihat kondisi KPK hari ini. Sebab, sejak Firli Bahuri beserta empat pimpinan KPK lainnya dilantik, pihaknya sudah menurunkan ekspektasi kepada lembaga antirasuah itu.
“Kami yakin mereka tidak akan berbuat banyak untuk menguatkan kelembagaan KPK. Hasilnya, sesuai dengan prediksi, KPK saat ini hanya dijadikan ‘bulan-bulanan’ oleh para pelaku korupsi,” tutur Kurnia.
KPK Tak Ada Kemauan?
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar juga mempertanyakan soal kemauan KPK untuk memburu delapan tersangka ini. Biasanya, kata pria yang karib disapa Uceng ini KPK melakukan berbagai macam cara untuk menangkap buronan.
“Saya nggak tahu kendalanya, selama ini nggak ada masalah dengan buru memburu sih. Ini antara tiga kemungkinan, yaitu soal kapasitas, kemampuan dan kemauan,” kata Uceng kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Uceng yakin, KPK memiliki kemampuan yang memadai soal memburu tersangka. Bahkan, dalam beberapa kasus, dahulu KPK bahkan menyadap sopir, pembantu rumah tangga dan kerabat untuk mengetahui di mana buronan tersebut. Mereka, kata Uceng, memiliki konsep yang sama dan bekerja dengan penyidik yang itu-itu saja.
“Jangan-jangan ini soal kemauan, atau koruptornya makin pintar sembunyi,” kata dia.
Sementara, meski sama-sama buron, tetapi polisi akhirnya bisa menangkap Youtuber Ferdian Paleka hanya dalam beberapa hari. Meski demikian, Uceng yakin orang yang memburu Ferdian Paleka dan DPO korupsi adalah pihak yang sama.
Sebab, kata dia, Kapolri Jenderal Idham Azis juga sudah memberikan instruksi kepada anak buahnya untuk membantu KPK mencari tersangka korupsi.
“Kapolri kan sudah memerintahkan bantu cari, yang mengerjakan sama aja orangnya,” kata Uceng.
Sementara, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengaku tak mengerti apa yang terjadi di internal KPK. Sebab, kata dia, DPR pun sebenarnya sudah mendesak KPK agar segera menangkap DPO koruptor.
“Memang di satu sisi tidak mudah, tetapi perlu juga didesak terus karena terkait juga dengan kepercayaan publik terhadap lembaga KPK saat ini,” kata Fajri kepada Liputan6.com.
Sebenarnya, kata Fajri, KPK sudah dibekali kewenangan yang besar untuk melakukan penegakan hukum di bidang korupsi. Sehingga, perlu dijajaki berbagai cara untuk dapat segera mendapatkan para DPO, karena akan terkait dengan kinerja KPK sendiri.
Sementara, Pengamat Hukum Pidana Suparji Ahmad menilai sangat aneh jika KPK kesulitan menangkap DPO korupsi.
“Jadi ini sesuatu potret penegakan hukum yang sangat menggelikan, bagaimana menangkap seorang Harun Masiku itu saja sampai sekarang gak bisa ketemu. Jadi ini aneh bin ajib,” ujar Suparji kepada Liputan6.com.
Apalagi, kata Suparji, tersangka ini merupakan orang yang dikenal publik. Sedangkan polisi dan KPK memiliki jaringan yang luas, apalagi saat ini mereka masih berada di Indonesia.
“Bagi saya ini adalah sesuatu realitas yang sangat misterius,” kata dia.
Sehingga, Suparji yakin bahwa KPK yang dipimpin Firli Bahuri saat ini sangat lemah. “Faktanya sebuah alat negara yang super body begitu menangkap seorang yang sudah menjadi tersangka tidak berhasil kan suatu kelemahan,” kata dia.
Berkaca dari kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Nazarudin, Suparji yakin sebenarnya KPK bisa menangkap buronan korupsi tersebut. “Sampai negara mana aja bisa ditangkap waktu itu. Ini bukan gak bisa tapi gak mau gitu aja,” tandas Suparji.
Daftar Buronan KPK
Hingga kini KPK masih memburu delapan tersangka korupsi.
Samin Tan
Terbaru, KPK memasukkan nama Samin Tan ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Bos PT Borneo Lumbung Energy & Metal (Borneo) itu tidak memenuhi panggilan sebagai tersangka sebanyak dua kali.
KPK menyebutkan, tersangka Pelaku Tindak Pidana Korupsi itu diduga memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yakni Eni Maulani Saragih selaku Anggota DPR RI periode 2014-2019 terkait Pengurusan Terminasi Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Nurhadi, Rezky Herbiono dan Hiendra Soenjoto
Kemudian mantan Sekretaris Mahkamag Agung (MA) Nurhadi. Dia diburu sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar.
Nurhadi buron bersama dua tersangka lainnya, Rezky Herbiono yang merupakan menantu Nurhadi, serta Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto. Mereka dijadikan buron lantaran tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan tim penyidik KPK sebagai tersangka.
Nurhadi cs dijerat sebagai tersangka pada, Senin 16 Desember 2019.
Pemanggilan Nurhadi saat itu berkaitan dengan dugaan penemuan aliran uang yang mencurigakan. Sepanjang 2004-2009, aliran uang yang masuk di rekening Tin mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar. Sedangkan periode 2010-2011, ada belasan kali uang masuk ke rekening Tin dengan nilai Rp 500 juta.
Nurhadi juga terdeteksi pernah memindahkan uang Rp 1 miliar ke rekening Tin. Tin juga pernah menerima Rp 6 miliar melalui setoran tunai pada 2010-2013.
Tak hanya aliran uang yang mencurigakan, saat KPK menggeledah kediaman Nurhadi di Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada April 2016. Tim lembaga antirasuah menemukan uang sebesar Rp 1,7 miliar dalam enam pecahan mata uang asing.
Sebagian uang tersebut ditemukan tim KPK di toilet. Tin saat itu akan membuang uang-uang tersebut ke toilet untuk menghilangkan barang bukti. Tak hanya itu, Tin juga merobek, membasahi hingga membuang beberapa dokumen ke tong sampah.
Sjamsul Nursalim dan Istri
Buron KPK yang sempat ramai diperbincangkan yakni Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Keduanya tersangka korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan masuk dalam DPO pada September 2019. Selama proses penyidikan KPK telah dua kali memanggil pasangan tersebut.
Sjamsul dan Itjih menjadi tersangka BLBI sejak 10 Juni 2019 lalu. Keduanya diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar. Atas perbuatan tersebut, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Mantan Panglima GAM Izil Azhar
KPK juga menetapkan DPO untuk Mantan Panglima GAM Wilayah Sabang Izil Azhar alias Ayah Marine pada Rabu 26 Desember 2018 silam.
Izil ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi bersama Gubernur Aceh non-aktif Irwandi Yusuf.
KPK juga meminta masyarakat melaporkan apabila menemukan Izil dengan cara mengontak nomor (021) 25578300 atau (021) 25578389 dan alamat email [email protected]. Selain itu juga bisa melaporkannya pada kantor kepolisian setempat.
Harun Masiku
Politikus PDIP Harun Masiku menjadi buron KPK atas kasus dugaan suap penetapan anggota DPR RI Fraksi PDIP melalui mekanisme pergantian antar-waktu (PAW).
Harun Masiku diduga menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Pemberian suap untuk Wahyu itu diduga untuk membantu Harun dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP yang meninggal dunia yaitu Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Namun dalam pleno KPU pengganti Nazarudin adalah caleg lainnya atas nama Riezky Aprilia.
Wahyu diduga sudah menerima Rp 600 juta dari permintaan Rp 900 juta. Dari kasus yang bermula dari operasi tangkap tangan pada Rabu, 8 Januari 2020 ini, tim penindakan KPK menyita uang Rp 400 juta.
(Liputan6)