Oleh: Zeng Wei Jian
Sebidang tanah dan bangunan milik “The A Lin” di Pintu Besar Selatan dipake Bank Pembangunan Daerah Djakarta Raya. Kala itu akhir tahun 1960-an.
Tiba-tiba pihak bank menjual asset itu. The A Lin ditawarin ganti-rugi. Nominal tidak rasional. The A Lin tolak. Kemudian puteranya yang bernama “The Tjin Kok” dan saudara kandungnya mengugat pihak bank ke pengadilan.
Proses Pengadilan berlarut-larut. The Tjin Kok meninggal dunia. Putera-cum-Ahli Warisnya “Ham Sutedjo” meneruskan pertarungan di pengadilan.
“Bank Pembangunan Daerah Djakarta Raya” ganti nama jadi “Bank DKI”. Gubernur (Pemerintah Daerah DKI Jakarta) pegang 99,98% saham. Sisanya (0,02%) milik PD Pasar Jaya.
Proses hukum selesai tahun 2006. Sudah PK pula. Putusan incraht MA mengharuskan Gubernur dan Bank DKI Wajib bayar. Nominalnya 2,233 milyar dengan bunga 12% per tahun sejak dari tahun 1962 sampai dibayarkan.
Tahun demi tahun berlalu. Putusan pengadilan diabaikan. Bank DKI tidak juga bayar ganti rugi. Maka pada tahun 2011 dilakukan “Sita Eksekusi”. Bank DKI melakukan perlawanan namun akhirnya kalah.
Tahun 2013 Pemda Jakarta menggugat balik The Tjin Kok. Proses pengadilan berlangsung sampai tahun 2016. Lagi-lagi Majelis Hakim memenangkan The Tjin Kok.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan peringatan untuk melanjutkan Proses Sita menjadi “Lelang Eksekusi”. Waktu mau dilelang, Bank DKI minta kompromi sampai Maret 2017.
Pada bulan Maret 2017, Bank DKI menyatakan hendak meminta Legal Opinion dari Kejaksaan Tinggi yang ternyata memberi opini; “Bayar…!!” Namun syahdan, sampai sekarang masih belum dilaksanakan.
Ahli Waris Ham Sutedjo diping-pong antara Bank DKI, Biro Hukum, Badan Pengawas dan TGUPP. Hasilnya nihil.
Akhirnya Ham Sutedjo menemui kolega lamanya; Lieus Sungkharisma. Dia minta tolong. Akte Notaris mensahkan Lieus Sungkharisma sebagai “Kuasa” (Substitusi) Ham Sutedjo.
Lieus Sungkharisma melihat ada ketidak-adilan. Dia cross-check post anggaran Bank DKI tahun 2016. Ada post Kasus The Tjin Kok dengan biaya konsultasi lawyer sebesar 2,3 milyar. Mata anggaran serupa muncul lagi tahun 2018. Nominalnya sama.
Jadi 2x Bank DKI bolak-balik konsultasi untuk perkara yang sudah diputus ‘incraht’ oleh pengadilan.
“Aneh, keputusan pengadilan sudah incraht kok masih konsultasi. Biayanya besar pula,” kata Lieus Sungkharisma.
Lieus Sungkharisma diputer-puter antara Dirut Bank DKI, TGUPP dan Biro Hukum. Senasib Ahli Waris Ham Sutedjo. Angin-Sorgawi ditiupkan. Semilir. Sepoi-sepoi. Cuma janji-janji kosong. Tanpa realisasi. Akhirnya dia mengadu ke Ombudsmen dan bicara di media.
Sejumlah aktivis seperti Amir Hamzah, Nur Lapong Guntur 45, Muslim Arbi dan lain-lain dukung Lieus Sungkharisma. “Demo aja Bank DKI,” kata Nur Lapong.
Sugiyanto Ketua Katar main dua kaki. Safety player. Alasannya berteman dengan aparat Bank DKI.
Bank DKI panggil beberapa portal media yang menayangkan statement Lieus Sungkharisma dan Amir Hamzah. Pihak Bank ingin pasang iklan.
Ternyata ribet berurusan dengan BUMD. Puluhan tahun ngga selesai. Proses ketegangan masih berlangsung. Bank DKI tidak pula memberi kepastian kapan mematuhi keputusan pengadilan. Gubernur tidak juga mengeluarkan instruksi supaya Bank DKI patuh.
Lieus Sungkharisma berpikir akan membawa kasus ini ke Bareskrim dan KPK.
THE END