Lieus Sungkharisma: Bank DKI Jangan Terus Menzalimi Rakyat

Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, mempertanyakan transparasi pengelolaan keuangan di Bank DKI terkait perkara yang menimpa salah seorang warga DKI Jakarta yang sudah bertahun-tahun tak juga diselesaikan oleh Direksi PT. Bank DKI.

“Saya tidak hanya meragukan ittikad baik direksi Bank DKI untuk menyelesaikan perkara yang menimpa saudara Ham Sutedjo, tapi saya juga mencium ada ketidakberesan dalam penangan perkara tersebut oleh Bank DKI,” ujar Lieus.

Pernyataan Lieus itu disampaikannya terkait apa yang dialami salah seorang warga Jakarta yang sudah belasan tahun haknya sebagai pihak yang telah ditetapkan oleh MA sebagai pemenang perkara, tidak juga dipenuhi oleh Bank DKI.

“Tentu saja saya perihatin dengan apa yang dialami Ham Sutedjo sebagai ahli waris almarhum The Tjin Kok yang sudah diputus menang perkara oleh pengadilan dan keputusan itu sudah inkrah oleh MA, tapi hak-haknya tidak juga diberikan,” ujar Lieus.

“Bayangkan, sudah bertahun-tahun ia menunggu tapi haknya tak juga dibayarkan oleh Bank DKI. Inikan pendzoliman namanya,” jelas Lieus yang mendapat kuasa dari Ham Sutedjo untuk mengurus perkara ini.

Seperti diketahui, beberapa minggu lalu Ham Sutedjo selaku ahli waris The Tjin Kok menulis surat terbuka yang ditujukan pada direksi Bank DKI dan Gubernur DKI Jakarta terkait perkara yang menimpanya.

Namun, meski surat terbuka itu sudah dimuat di berbagai media, pihak Bank DKI sepertinya tutup mata dan tutup telinga. Padahal perkara itu sudah diputus di tingkat kasasi oleh MA dengan Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 2256 K/PDT/2005 jo. Nomor: 23/PDT.G/PN.JKT. PST dan telah Berkekuatan Hukum Tetap.
Bahkan, sesuai dengan Berita Acara Panggilan Menghadap dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 043/2010.Eks pada tanggal 29 November 2016, Bank DKI pun sudah berjanji akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan putusan meski meminta waktu sampai bulan Maret 2017.

“Artinya sudah tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan Bank DKI. Dus Bank DKI harus memenuhi kewajibannya. Tapi sampai sekarang Bank DKI belum juga melaksanakan kewajibannya dan terus mengelak. Padahal jumlah tanggungan yang harus dibayarkan Bank DKI atas penundaan kewajibannya itu akan terus bertambah dan akan menambah besar kerugian pada keuangan negara,” tutur Lieus lagi.

Ironisnya, tambah Lieus, di tengah sikap membandel Direksi Bank DKI untuk membayar kewajibannya itu, ia justru menemukan kejanggalan terkait penanganan perkara ini oleh Bank DKI sebagaimana yang tercantum dalam Annual Report Bank DKI mulai dari tahun 2016 hingga tahun 2018.

“Pada Annual Repot Bank DKI tahun 2016 halaman 555 tercantum Biaya Jasa dalam tabel Kerjasama Penanganan Permasalahan Hukum Dengan Pihak Ketiga pada No. Urut 2, Bank DKI memberikan service fee untuk Kantor Hukum Arifin Djauhari & Partners terkait dengan Perkara Hukum The Tjin Kok & Rudi Harsono sebesar Rp 2.325.000.000,-. (dua milyar tiga ratus dua puluh lima juta rupiah).

Anehnya, angka itu tidak tercantum lagi pada Annual Report Bank DKI tahun 2017 di halaman 712. Tapi dalam Annual Repot tahun 2018 di halaman 698, angka pembayaran service fee untuk Kantor Hukum Arifin Djauhari & Partners dicantumkan lagi,” kata Lieus.

Hal ini, tambah Lieus, tentu saja sangat janggal dan tidak bisa dianggap remeh. Terlebih nilai yang dikeluarkan Bank DKI untuk service fee kantor hukum itu bukan jumlah yang sedikit.

“Karena itulah kita ingin meminta kejelasan pada jajaran Direksi Bank DKI terkait masalah ini. Sebab, tambahnya, sejak dikeluarkannya Berita Acara Panggilan Menghadap Nomor: 043/2010.Eks oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 2256 K/PDT/2005 jo. Nomor: 23/PDT.G/PN.JKT.PST yang telah Berkekuatan Hukum Tetap, Bank DKI tidak bisa melakukan upaya hukum apapun juga.

“Pertanyaannya sekarang, mengapa Bank DKI tetap mengeluarkan biaya sangat besar untuk kantor Hukum dalam perkara yang sudah inkrah? Dan mengapa pula laporan pengeluaran uang itu sempat hilang di tahun 2017?” tanya Lieus.

“Wajar kalau kita jadi menduga-duga memang ada yang tidak beres dalam pengelolaan keuangan di Bank DKI. Karena itulah kita ingin mempertanyakan soal ini pada Direksi Bank DKI dan bahkan akan mempertanyakannya kepada Gubernur DKI sebagai pemegam saham Bank DKI. Sebab akibat ketidaktransparanan ini rakyat yang jadi korban dan terus dizalimi,” tegas Lieus.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News