Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pencegahan terorisme isinya justru menghidupkan Orde Baru dan ketakutan terhadap rakyat
Demikian dikatakan pengamat politik dan sosial Muhammad Yunus Hanis dalam pernyataan kepada suaranasional, Senin (25/11/2019). “Poin-poin dalam dalam PP sangat bias dan bisa menyadar siapa saja yang tidak terkait terorisme,” ungkapnya.
Kata Yunus, seseorang buku yang dianggap radikal terorisme bisa dianggap terpapar terorisme. “Akses informasi dalam PP itu bisa saja buku. Dan buku yang dimaksud tidak jelas. Padahal buku saja bisa saja dipakai untuk kajian ilmiah,” ungkapnya.
Menurut Yunus, PP pencegahan terorisme ini seperti pencegahan komunis era Orde Baru. “Di era Orde Baru bicara secara ilmiah tentang ajaran komunisme dianggap menyebarkan komunisme,” jelas Yunus.
Yunus menduga diterbitkannya PP pencegahan terorisme tidak bisa dilepaskan situasi global.
“Terorisme menjadi isu global yang dikampanyekan barat dan Indonesia harus berpartisipasi. Seperti era Ode Baru, komunis ancaman global, Indonesia juga berpartisipasi,” kata Yunus.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam aturan ini, diatur langkah-langkah mencegah terorisme.
PP itu diberi nama ‘Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan’. Salah satu isinya adalah mencegah orang dari bahaya terpapar radikalisme.
“Kontra Radikalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme,” demikian bunyi Pasal 22 ayat 1 PP Nomor 77 Tahun 2019 yang dikutip detikcom, Minggu (24/11/2019).
Lalu, siapa saja yang rentan terpapar paham radikal terorisme? Dalam ayat 2 disebutkan:
1. memiliki akses terhadap informasi yang bermuatan paham radikal terorisme;
2. memiliki hubungan dengan orang/kelompok orang yang diindikasikan memiliki paham radikal terorisme;
3. memiliki pemahaman kebangsaan yang sempit yang mengarah pada paham radikal terorisme; dan/atau
4. memiliki kerentanan dari aspek ekonomi, psikologi, dan/atau budaya sehingga mudah dipengaruhi oleh paham radikal terorisme.
Untuk mencegah paham radikal meluas, perlu dilakukan kontraradikalisasi secara langsung atau tidak langsung melalui kontranarasi, kontrapropaganda, atau kontra-ideologi.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi diatur dengan Peraturan BNPT,” demikian bunyi Pasal 27.