Guru Besar ITS: Nadiem Makarim Mendikbud, Proyek Sekulerisasi sebagai Deislamisasi Indonesia Tahap Akhir

Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) merupakan proyek sekulerisasi sebagai deislamisasi Indonesia tahap akhir.

Demikian dikatakan Guru Besar Institut Teknologi Surabaya (ITS) Prof Daniel Mohammad Rosyid dalam artikel berjudul “Deschooling vs Deislamisasi”.

Rosyid yang saat ini aktif sebagai kurator Kuliah Kebangsaan Bung Karno mengatakan, melalui kepemimpinan baru Kemendikbud ini, dan UU Pesantren yang baru disahkan, syarat-syarat budaya bagi sebuah bangsa sekuler dan terjajah akan dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif.

“Setelah sistem persekolahan massal dijadikan instrumen teknokratik bagi masyarakat industri sekuler sejak Orde Baru, proses deislamisasi itu semakin memperoleh kekuatan dan momentumnya di bawah rezim ini,” ungkapnya.

Saat elite Indonesia masih menilai radikalisme sebagai ancaman bagi investasi, kata Rosyid di tangan Nadiem Makarim, sistem persekolahan paksa massal ini tidak saja menjadi instrumen teknokratik menyiapkan masyarakat industri, tapi sekaligus instrumen deradikalisasi sebagai proxy deislamisasi.

“Sudah sejak 10 tahun lalu, saya menganjurkan agar komunitas pendidikan mulai memikirkan kembali deschooling: mengurangi dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan dengan memberi tugas-tugas pendidikan yang lebih besar pada keluarga sebagai satuan pendidikan yang sah, dan juga pada masyarakat, terutama masjid bagi komunitas muslim.

Kata Rosyid, di samping persekolahan makin terbukti tidak efektif, pendidikan bagi semua hanya mungkin oleh semua. Pendidikan tidak mungkin dilaksanakan secara efektif dengan memperbesar persekolahan.

“Bahkan Ki Hadjar Dewantara menegaskan tri sentra pendidikan : keluarga, masyarakat, dan perguruan,” ungkapnya.

Menurut Rosyid, persekolahan diciptakan semula untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja trampil sejak revolusi industri sekitar 200 tahun silam. Saat gereja Anglikan Inggris dan Katholik Roma bersikap ambiguous terhadap keluarga, maka memang pendidikan di Barat sangat mengandalkan persekolahan bagi regenerasi nilai-nilai Barat yang sekuler.

“Lalu sejarah menyaksikan secara lambat tapi pasti lembaga keluarga di Barat mengalami degradasi yang sangat serius. Bahkan saat ini pernikahan sesama jenis, dan LGBT sudah dinyatakan legal di banyak negara Barat,” papar Rosyid.

Dalam konteks keluarga itulah, kata Rosyid mesti mencermati bahwa menyerahkan tugas-tugas pendidikan hanya pada persekolahan akan memperlemah keluarga dan masjid.

“Masjid bertugas melengkapi pendidikan dalam keluarga. Persekolahan boleh diberi tugas yang bersifat melengkapi seperti memberikan kecakapan-kecakapan teknis. Bagi muslim, pembentukan adab dan akhlaq hanya bisa dilakukan secara efektif di rumah dan di masjid,” papar Rosyid.

Kata Rosyid, keluarga, masjid dan pesantren, adalah benteng terakhir Islam di Indonesia. Persekolahan adalah ancaman laten bagi ketiga lembaga ini. Namun segera perlu dicatat bahwa sejak lama kantong-kantong Islam adalah kantong-kantong perlawanan terhadap penjajahan.

“Pembukaan dan UUD45 yang asli adalah rumusan perlawanan muslim menghadapi penjajahan itu. Penjajah tahu bahwa agar penjajahan baru nekolimik bisa berlangsung, instrumen penjajahan harus diubah wajahnya agar nampak lebih bersahabat dan mulia : persekolahan, bukan tank, bedil dan mesiu,” kata Rosyid.

Rosyid mengatakan, ummat Islam Indonesia perlu segera meninggalkan paradigma schooling ini, lalu mengambil paradigma learning ( belajar ).

“Bagi ummat Islam, pendidikan tidak boleh lagi diwujudkan dalam pembesaran persekolahan hingga ke pesantren-pesantren, tapi justru mengurangi persekolahan dengan memperluas kesempatan belajar di rumah dan di masyarakat, terutama di masjid-masjid dengan kurikulum yang mandiri dengan lebih mengutamakan relevansi personal dan spasial/lokal, bukan mutu global mbelgedhes,” pungkasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News