Presnas BEM Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), Nica Ranu Andika, mengatakan para mahasiswa yang berniat melakukan demonstrasi terkait revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bergerak dengan konsep yang matang.
“Artinya teman-teman yang bergerak dari gerakan kemarin jangan asal turun,” kata Nica dalam diskusi Polemik Revisi UU KPK: Membangun Nalar Kritis Mahasiswa Melalui Forum Diskusi di Jakarta, Rabu (16 Oktober 2019).
Mahasiswa, kata dia, adalah gerakan kaum terpelajar yang berangkat dari lingkungan akademik. Nica mengatakan, mahasiswa tidak boleh sekedar meramaikan demonstrasi di jalanan sebelum melakukan kajian, dialog serta pemahaman mendalam.
“Apalagi ikut-ikutan aksi tanpa paham subtansi persoalan,” ujarnya.
Terkait beda pendapat antara kelompok yang mendukung revisi dengan kelompok yang menolak revisi, Nica menilai justru disitulah peran akademisi dan ilmu pengetahuan dalam menjernihkan masalah.
Setiap orang, kata dia, punya hak berpendapat, tapi perbedaan bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah.
“Kami disini mendukung revisi, sementara di luar sana ada yang menolak. Kami berpendapat KPK perlu pengawasan, sementara pendapat lain tidak. Artinya, ini yang harus menjadi dialog.”
Nica menyebut KPK selama ini cenderung menjadi “alat” dan dimanfaatkan sebagian politik. Itu sebabnya ia sepakat dengan fungsi Dewan Pengawas sesuai revisi UU KPK.
“Beberapa langkah KPK kemarin memang kami kaji. Pendapat kami perlu adanya pengawasan. Lalu ada dugaan elit politik menggunakan KPK sebagai alat.”
Koordinator Pusat BEM PTM se-Indonesia, Rahmat Syarif, menilai masyarakat harus lebih smart dalam melihat polemik revisi UU KPK yang kini tengah menjadi perbincangan hangat jelang pelantikan presiden dan wakil presiden 20 Oktober 2019.
“Kalau soal melemahkan KPK itu masih bisa diperdebatkan, tapi kalau merasa paling benar, lalu ngomong ke masyarakat, ini yang menjadi masalah,” kata Rahmat Syarif.
Rahmat mencontohkan aksi sejumlah LSM yang menolak Revisi UU KPK, tapi kerap menyuarakan revisi sebagai upaya melemahkan KPK. Menurut dia, upaya pelemahan ini menimbulkan perpecahan di masyarakat karena proses yang dilalui oleh revisi sesuai UU dan konstitusi.
“Kalau saya tanya siapa yang mau melemahkan KPK. Selama ini KPK telah bekerja dan kita tahu korupsi ini yang bikin Indonesia sulit maju. Lalu ada ucapan melemahkan. Apakah ini benar,” ujarnya.
Rahmat kemudian mengambil ucapan Tan Malaka dalam persoalan memberantas korupsi yang menyatakan “satu orang membaca, dua orang berdiskusi dan tiga orang bergerak”.
“Maka saya sarankan kita baca revisi, lalu kita berdiskusi soal itu, kemudian kita bergerak bersama-sama berantas korupsi. Jangan merasa paling benar lalu ngomong melemahkan KPK. Ini yang ada justru kita perang kata-kata sementara koruptor tertawa,” ujarnya.
La Radi Eno, perwakilan LBH PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menilai revisi UU KPK sebagai langkah yang tepat bagi bangsa dan negara karena sesuai perkembangan zaman. Menurut dia, di zaman serba terbuka dan perkembangan teknologi makin maju, maka korupsi juga bertransformasi.
“UU KPK sudah lama kan. Enggak mungkin pakaian (UU) tahun 2002 dipaksakan untuk dipakai tahun 2019. Harus udah ada UU baru sesuai perkembangan keadaan, zaman sudah terbuka dan jangan ada polemik soal pelemahan. Kalau ini terjadi 10 tahun lalu lain cerita,” kata La Radi Eno.
Ia juga melontarkan kritik terhadap kinerja KPK yang enggan berkoordinasi. Menurut dia, yang paling diperlukan di zaman keterbukaan adalah koordinasi dalam memberantas korupsi.
“Enggak bisa di zaman terbuka ini kita main sendiri-sendiri. Harus berkoordinasi, harus bekerja sama, semua yang korupsi itu bisa mudah terbuka ke depan. Polisi bantu KPK, KPK bantu Jaksa, Jaksa bantu Polisi dan begitu seterusnya. Bukan KPK saja.”