Gangguan jiwa yang mempunyai hak untuk memilih di Pemilu dan Pilpres 2019 sangat rentan disalahgunakan untuk pemenangan kubu tertentu.
“Gangguan jiwa bisa dimanfaatkan untuk kemenangan kubu tertentu,” kata pengamat politik Sahirul Alem kepada suaranasional, Rabu (21/11).
Menurut Alem, orang yang mengalami gangguan jiwa seharusnya tidak mempunyai hak memilih dalam pesta demokrasi. “Tidak mempunyai hak pilih bukan berarti tidak memanusiakan penyandang gangguan jiwa,” papar Alem.
Alem mengatakan, sampai saat ini data penyandang gangguan jiwa yang berhak memilih untuk Pemilu dan Pilpres 2019 tidak jelas.
“Datanya saja tidak jelas, nampaknya ada agenda tersembunyi dengan keputusan diperbolehkannya orang yang mengalami gangguan jiwa boleh mempunyai hak pilih,” jelas Alem.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat terobosan baru dengan memberikan hak suara kepada penderita gangguan jiwa.
KPU juga memasilitasi penyelenggaraan pemilu di tempat-tempat perawatan orang gila seperti rumah sakit jiwa (RSJ) dan panti-panti sosial.
“Pemilu di rumah sakit jiwa tahun ini adalah sejarah, karena akhirnya untuk pertama kali penderita gangguan jiwa difasilitasi oleh negara untuk menyalurkan hak pilihnya. Semua penderita yang sedang dalam perawatan memiliki hak pilih,” kata Tigor Hutapea dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu (9/7).
Selain LBH Jakarta, advokasi terhadap hak suara orang gila itu antara lain dilakukan Perhimpunan Jiwa Sehat dan Perhimpunan untuk Pemilu Demokrasi (Perludem). Landasan hukum utamanya adalah Undang-Undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2012 tentang Pemilu Presiden.
“Dalam kedua UU itu disebutkan bahwa peserta pemilu adalah warga negara yg telah berusia 17 tahun atau sudah menikah,” ungkap Tigor.