Merakyat belum Tentu Berpihak ke Rakyat

TB Ardi Januar (IST)

Oleh: Tb Ardi Januar

Alkisah di sebuah negeri sedang dihebohkan dengan pemberitaan dan perdebatan tentang pemimpin mereka yang muncul dengan mengenakan kaos dan sepatu kets saat meresmikan kereta bandara.

Ini bukan kali pertama dia bertingkah kontroversi. Sebelumnya, rakyat mereka juga sempat dihebohkan dengan aksinya yang mengenakan sandal jepit saat mancing, mengenakan sarung saat turun dari pesawat, mengenakan jaket bomber saat jumpa pers di istana, dan sederet aksi heboh lainnya.

Aksinya tersebut membuah heboh media massa dan menuai perdebatan di sosial media. Ada yang menilai tindakan dia sebagai potret pemimpin merakyat dan sederhana, tapi tak sedikit juga yang menyebut dia sedang menggiring opini berita untuk menutupi cacat kinerja.

Kita tidak perlu berdebat soal aksi dan sederet gimmick dia. Bagi saya, dia adalah figur pemimpin yang merakyat. Merakyat dalam kata sifat dan bahasa yang artinya dia berpenampilan seperti rakyat pada umumnya. Sebab, kaos, sandal jepit, sepatu kets, sarung adalah property tubuh yang sudah sangat melekat di masyarakat.

Namun pemimpin yang berpenampilan merakyat bukan berarti kinerja kepemimpinannya otomatis pro kepada rakyat. Dan untuk menilai keberhasilan seorang pemimpin bukanlah diukur dari penampilannya, melainkan dari produk kebijakannya dan keberpihakannya kepada rakyat.

Kaos yang dia kenakan mungkin bukti merakyat, tapi langkah dia yang menarik subsidi harga bahan bakar dan listrik, serta melambungnya harga kebutuhan pokok menjadi bukti bahwa dia tidak pro rakyat.

Sandal jepit yang dia pakai mungkin bukti merakyat, tapi keputusannya yang mewariskan beban hutang hingga 4.000 triliun dan menjual aset negara kepada asing menjadi bukti bahwa dia tidak pro rakyat.

Sarung yang dia pakai mungkin bukti merakyat, tapi meningkatnya angka kemiskinan dan bertambahnya jumlah pengangguran di saat massifnya pembangunan menjadi bukti bahwa dia tidak pro rakyat.

Kita ambil contoh Bung Karno. Dia tidak hanya dikenal sebagai proklamator Indonesia. Tapi juga dikenal dengan gaya hidupnya yang modis, elegan dan nyentrik. Kacamata hitam, peci hitam dan kolektor mobil antik begitu identik dengan dia. Secara penampilan dia tidak merakyat karena bukan penampilan rakyat pada umumnya.

Namun kita lihat isi kepala, kebijakan dan warisannya selama berkuasa. Soekarno begitu gigih memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan Bangsa. Dia ingin Indonesia mandiri secara ekonomi dan menolak tegas intervensi asing.

Bahkan dalam salah satu pidatonya, Soekarno berkata: “Jika engkau mencari pempimpin, carilah yang dibenci, ditakuti atau dicaci maki asing, karena itu yang benar. Pemimpin tersebut akan membelamu di atas kepentingan asing itu, dan janganlah kamu memilih pemimpin yang dipuji-puji asing, karena ia akan memperdayaimu”.

Kita juga melihat bagaimana mewah dan glamour-nya Sultan Brunei Hassanal Bolkiah. Kolektor mobil mewah, jet pribadi dan istana yang bergelimang emas. Gaya hidup dia sangat tidak merakyat.

Tapi lihatlah bagaimana kondisi hidup rakyatnya. Warga Brunei begitu bahagia dan sejahtera. Hidup tanpa kewajiban bayar pajar, harga hidup yang murah, hingga biaya pengobatan yang dibebaskan alias gratis. Hassanal Bolkiah menjadi pemimpin yang sangat pro rakyat meski penampilannya tidak merakyat.

Kesimpulannya, mulai saat ini berhentilah menilai keberhasilan seorang kepala negara hanya dari penampilannya. Mari kita bantu agar dia bergaya tidak sekadar merakyat, tetapi juga kebijakannya sangat pro kepada rakyat.

Saya menduga, ada pihak yang happy dan suka bila melihat netizen berdebat dan gaduh soal kostum yang dikenakan seorang kepala negara. Dengan begitu, netizen menjadi abai dan tidak fokus dengan sederet kebijakan yang merugikan rakyat. Ayo, kerja kerja kerja…

Kalian tahu kan gua lagi ngomongin siapa…?
?

Simak berita dan artikel lainnya di Google News