Dihidupkannya kembali pasal penghinaan Presiden yang telah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan Presiden Indonesia yang akan datang menjadi diktator.
Demikian dikatakan Aktivis Pergerakan 77-78, Syafril Sjofyan kepada suaranasional, Jumat (9/2).
“Dengan sistim Presidential di mana angkatan bersenjata dan kepolisian serta kejaksaan berada dibawah Presiden, pasal tersebut dapat menggilas siapapun yang dianggap oposisi dan yang memberikan kritik,” ungkapnya.
Kata Syafril, dengan pasal tersebut jika seorang Presiden terpilih dengan keluarga serta pendukungnya yang baper, akan terjadi kebringasan terhadap rakyat yang kritis termasuk yang melakukan pembelaan secara ekspresif, bahkan mungkin akan timbul ketakutan melakukan kontrol, tentunya hal ini sangat jelas mengancam keberadaan civil society.
“Saya ingin mengingatkan bahwa langkah pemerintah yang berupaya memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU tersebut akan menimbulkan tirani dengan kekuasaan otoriter memberangus demokrasi,” jelas Syafril.
Ia juga mengatakan, Pasal yang dijadikan mummy oleh Pemerintah melalui RUU KUHP tentang penghinaan kepada Presiden lebih sadis lagi karena dikategorikan sebagai pidana umum.
“di mana tanpa ada yang mengadu seseorang bisa dijadikan tersangka, bukan saja sebagai kemunduran juga merusak demokrasi,” pungkasnya.