Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berasal dari Solo, Jawa Tengah lebih kental kejawen daripada Islamnya.
“Pak @jokowi ini lebih kental aroma kejawennya ketimbang aroma semangat keberislaman. Ini fakta bukan fiksi. Saya mention ke kumendan @Puspen_TNI @DivHumasPolri ya,” kata wartawan senior Edy A Effendi di akun Twitter-nya @eae18.
Edy mengingatkan semua pihak agar tidak berlebihan menguar pernyataan soal kunjungan Jokowi itu sebagai bentuk pembelaan Islam.
“Jangan berlebihan menguar statemen bahwa Presiden @jokowi, Presiden Indonesia kedua setelah Soekarno yang berani ke Afghanistan meski sedang konflik. Saya dialog dengan Ketua Dewan Perdamaian Tinggi Afghanistan, Mohammad Karim Khalili, ketika ke UIN Jkt. Gak seseram Itu,” tulis Edy.
Menurut Edy, kunjungan Jokowi ke Afghanistan adalah kunjungan balasan. “Kunjungan balasan itu wajar. Jangan dilebih-lebihkan. Ini Ketua Majelis Tinggi Perdamaian Afghanistan, Mohammad Karim Khalili ketika berkunjung ke Indonesia, (21/11/17) dan minta Presiden @Jokowi datang ke Afghanistan. Pas ke UIN Jakarta, saya wawancara Tuan Karim dan Pak ArieF R,” ungkap @eae18.
Soal “keberanian” Jokowi mengunjungi Afghanistan yang sedang berkonflik, Edy menegaskan bahwa konflik di Afghanistan saat ini adalah konflik antar suku.
“Terharu Pak @Jokowi pulang dengan keadaan selamat dari Afghanistan? Ini juga uaran yang amat sangat berlebihan. Kondisi Afghanistan saat ini, gak seseram puluhan tahun silam. Konflik yang sekarang terjadi itu sebatas perpecahan antar ‘kabilah’. Ini menurut Mohammad Karim Khalili,” tulis @eae18.
Tak hanya itu, Edy menilai, kunjungan Jokowi ke Afghanistan bisa dikatakan “aman”. “Ketika saya wawancara dengan Ketua High Peace Council Afghanistan, Mohammad Karim Khalili, konflik yang terjadi saat ini, konflik antar suku. Jadi kalau kita dari suku Jawa terus berkunjung ke Afghanistan, ya aman saja. Pashtun, suku terbesar, disusul suku Tajik, ada juga Hazara,” kata @eae18.