Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2014 tentang pemiu serentak sangat jelas bahwa apabila UU Pemilu yang baru saja disetujui DPR pada Juli 2017 tetap bertentangan dengan pasal 6A dan pasal 22E UUD 2002.
Demikian dikatakan politikus senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Habil Marati dalam pernyataan kepada suaranasional, Kamis (27/7).
“UU Pemilu yang baru saja diputuskan DPR ditandatangani Presiden maka yang akan terjadi adalah Senjata makan tuan, artinya Pilpres 2014 kehilangan legitimasi konstitusi,” kata Habil.
Kata Habil, Putusan MK 2014 adalah merupakan legitimasi pengesahan terpilihnya Presiden, sehingga dengan demikian diperlakukan pandangan ilmiah, kontekstual, pruden dan logis konstitusional untuk penegasan terhadap status hukum dasar konstitusi presiden yang terpilih tahun 2014.
Habil mengatakan, Pasal 6A maupun pasal 22E UUD 2002 adalah merupakan sumber legitimasi konstitusi seorang Presiden RI.
Mekanisme demokrasi untuk melahirkan sebuah sistem UU pemilu pemilihan President wajib bersumber pada Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 2002.
“Kalau Bangsa Indonesia konsisten, serta taat azas terhada Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 2002 maka UU Pemilu yang mengatur mekanisme sistem pemilihan presiden tahun 2004, 2009 dan 2014 tidak SYAH karena bertentangan dengan Pasal 6A dan Passl 22E UUD 2002,” pungkas Habil.