Pemerintah memanipulasi hukum dalam kasus pengangkatan kembali Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta walaupun berstatus terdakwa.
“Jangan ngakali aturan, jangan melintir hukum. Ingat, kekuasaan ini cuma sebentar,” kata Dewan Pakar ICMI, Irjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo kepada suaranasional, Kamis (23/2).
Kata mantan petinggi Polri ini, pemberhetian sementara Ahok memang menjadi tugas dan wewenang presiden, bukan tugas dan wewenang Mendagri.
“Ya jelas salah, wong bukan wewenang dia kok putuskan. Dan ya tak mungkin dicopot, yang nyopot menteri kan presiden, saya sebagai mantan pejabat tahu lah psikobirokrasi,” jelas Anton.
Ia mengatakan, pernyataan Mendagri yang akan pasang untuk mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menandakan mantan Sekjen DPP PDIP itu kerja sama dengan Presiden.
“Mendagri pasang badan itu pasti sudah kongkalikong dengan presiden dan presiden tak akan nyopot mendagri. Anak balita saja tahu lah,” katanya.
Menurut mantan petinggi Polri yang juga pernah berkali-kali menangani kasus penistaan agama di Indonesia, perintah UU-nya, kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa bisa langsung diberhentikan sementara sampai ada kekuatan hukum tetap.
“Namun terhadap Ahok presiden bersikap lain, selalu menunda-nunda sejak status tersangka yang mestinya ditahan pun tidak ditahan,” ujarnya.
Anton menilai, alasan yang disampaikan pemerintah tidak memberhentikan Ahok mengada-ada, salah satunya menunggu fatwa MA. Tapi, kata Anton, begitu fatwa MA turun, pemerintah, baik presiden dan juga menterinya seakan menutup-nutupi dengan tidak menyampaikan bahwa MA tidak mengeluarkan fatwa kerena sidang Ahok sedang berlangsung.