Badan Pusat Statistik (BPS) Januari 2017 yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi 2016 5,02 memunculkan anomali yang mengecewakan.
“Ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedikit meningkat ini tidak diikuti dengan peningkatan indikator kesejahteraan mayoritas masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah kemampuan pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan sangat tidak signifikan,” kata pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeang dalam pernyataan kepada suaranasional, Senin (13/2).
Kata Salamuddin, kekuatan anggaran mencapai hampir Rp 2000 triliun dan tambahan utang pemerintah diatas Rp 500 triliun setahun pemerintah hanya dapat mengurangi kemiskinan 250 ribu orang.
“Padahal hasil ini cukup dengan uang Rp 2,5 triliun saja, karena satu orang miskin tersebut bisa mendapatkan Rp 10 juta per orang,” ungkapnya.
Menurut Salamuddin, minimnya prestasi menurunkan kemiskinan ini terlihat dalam Data BPS yang menggambarkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2016 mencapai 27,76 juta orang (10,70 %).
“Menurun 250 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2016 yang sebanyak 28,01 juta orang (10,86 %). Padahal kemiskinan adalah indikator utama dari keberhasilan pemerintah,” jelasnya.
Lebih parah lagi kelompok masyarakat yang merupakan lapisan paling besar dari rakyat Indonesia yakni wong cilik, kaum Marhaen, petani dan buruh justru ekonomi mereka semakin parah dari waktu ke waktu.
“Fakta diatas menunjukkan bahwa Kaum Marhaen, wong cilik, semakin tercekik hidupnya oleh karena pemerintah gagal mengendalikan inflasi yang tetap tinggi. Pada Januari 2017 terjadi Inflasi sebesar 0,97 persen. Dengan demikian setahun inflasi bisa mencapai 11 % sampai 12 %. Ini merupakan pemelaratan bagi kaum miskin,” pungkas Salamuddin.