Pengamat ekonomi, Muhammad Bahrul Ulum mengatakan, pelemahan rupiah tidak hanya berdampak pada kinerja ekspor, tetapi juga manufaktur. Industri manufaktur kesulitan karena biaya produksi meningkat akibat bahan baku dari impor.
“Ongkos produksi juga mahal dari sisi logistik maupun energi,” ujar mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia (UI) kepada suaranasional, Selasa (4/8).
Ia menilai, pelemahan rupiah belum bisa mendongkrak kinerja ekspor industri dalam negeri. Terlebih dari sektor komoditas yang harganya sedang anjlok d tengah pelambanan ekonomi dunia.
Kata Ulum, Presiden JOkowi sangat tidak realitistis target kenaikan ekspor Indonesia. “Sangat tidak realitistis di tengah nilai rupiah yang turun. Memang, logikanya di saat dollar naik, akan digenjot ekspornya tetapi biaya produknya juga tinggi di dalam negeri akibat rupiah melemah,” ungkap Ulum.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pengusaha mendorong ekspor di tengah pelambanan ekonomi dan pelemahan rupiah. Namun langkah peningkatan ekspor tersebut cenderung berat di tengah kenaikan impor bahan baku industri dan pelambanan ekonomi global.
“Pelemahan nilai tukar rupiah dan pelambanan ekonomi global justru menjadi peluang untuk menciptakan pasar ekspor baru di luar AS, Eropa, China, Jepang, dan Korea Selatan yang selama ini menjadi pasar tradisional bagi Indonesia,” katanya di Jakarta, Senin (3/8).