Penggunaan Hak Angket oleh DPRD DKI bisa menjadi sangat sensitif karena perseteruan Gubernur DKI dan DPRD DKI bisa menyeret Presiden Joko Widodo ke dalam kasus hukum,
“Manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa Jokowi menjabat gubernur DKI,” kata politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo dalam keterangannya, Kamis (12/3).
“Manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa Jokowi menjabat gubernur DKI,” kata politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo dalam keterangannya, Kamis (12/3).
Menurut Bamsoet, panggilan akrabnya, DPRD DKI memang wajib menyelidiki draf APBD DKI 2015 jika benar diserahkan secara sepihak oleh Gubernur DKI ke Kementerian Dalam Negeri, atau tanpa persetujuan DPRD DKI.
“Hak Angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI memiliki dasar dan alasan yang kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah selanjutnya yang akan ditempuh ditempuh legislatif berujung pada proses pemakzulan,” paparnya.
Kata Bamsoet, Penggunaan Hak Angket menjadi opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan yang ditabrak oleh Gubernur DKI.
“Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan perundangan-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2014, UU No.17 Tahun 2004, dan UU No.17 Tahun 2003,” paparnya.
Lanjut Bamsoet, menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan sampai provinsi, dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA), melainkan dari hasil Tim ahli (tim 20) yang tidak kompeten menurut aturan yang berlaku. DPRD DKI pantas marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh dibahas DPRD DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD DKI.
“Hak Angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI memiliki dasar dan alasan yang kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah selanjutnya yang akan ditempuh ditempuh legislatif berujung pada proses pemakzulan,” paparnya.
Kata Bamsoet, Penggunaan Hak Angket menjadi opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan yang ditabrak oleh Gubernur DKI.
“Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan perundangan-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2014, UU No.17 Tahun 2004, dan UU No.17 Tahun 2003,” paparnya.
Lanjut Bamsoet, menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan sampai provinsi, dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA), melainkan dari hasil Tim ahli (tim 20) yang tidak kompeten menurut aturan yang berlaku. DPRD DKI pantas marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh dibahas DPRD DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD DKI.