Genealogi Politik Uang, Larangan, Sanksi dan Penegakan Hukumnya

Oleh: Firman Wijaya, S.H., M.H., C.Med (Anggota/ Kordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa, Badan Pengawas Pemilihan Umum Kota Bogor Periode 2003-2028

Masa kampanye Pemilu 2024 telah dimulai sejak tanggal 28 November lalu, sesuai Peraturan KPU No. 3/2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, masa kampanye berakhir di tanggal 10 Februari 2024. Kekhawatiran Pemilu 2024 tidak berlangsung sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (vide Pasal 2 UU No. 7/2017 tentang Pemilu) memang wajar. Menurut Dian Permata (2017; 54) Pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilu yang dinilai sebagai pesta demokrasi belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena dalam proses penyelenggaraan Pemilu masih sering terjadi kecurangan yang dilakukan oleh para Peserta Pemilu, salah satu bentuknya adalah delik politik uang (money politic). Secara praktik, delik politik uang dalam Pemilu tidak terlepas dari interaksi yang kompleks antaraktor politik dengan massa calon pemilihnya, bahkan dibeberapa kabupaten/kota melibatkan oknum penyelenggara Pemilu.

Aksioma ini secara kuantitatif mendapatkan legitimasi empirik, karena Bawaslu RI merilis sebanyak 36 kasus delik politik uang yang diajukan ke pengadilan di Pemilu 2019, dan semua sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Delik politik uang tersebut dilakukan pada masa kampanye, masa tenang dan pada hari pemungutan suara. Modusnya beraneka, dari bagi-bagi uang sampai materi lain, seperti minyak goreng, beras, gula dan lainnya (lihat: Kasim dan Supriyadi, dalam Jurnal Adhyasta Pemilu, Vol. 2, No. 1 2019, hlm. 21). Bahkan menurut sebuah riset yang dirujuk Ketua KPU RI, Hasyim Asyari seperti dikutip Kantor Berita Antara (5/10/2021) menyebutkan jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 dikisaran 19,4 persen hingga 33,1 persen.

Potensi delik politik uang di Pemilu 2024 kemungkinan sama dengan Pemilu 2019. Sehingga  tantangan bagi Bawaslu kini bagaimana mendesain strategi dan taktik electoral law enforcement yang tepat dalam pencegahan dan penindakannya. Belajar dari Pemilu 2019 lalu, menjadikan Bawaslu secara empirik harus sudah dapat memetakan potensi delik politik uang. Memakai kerangka Sistem Hukum (system of law) dari Lawrance M. Friedman (1984, 5) setidaknya potensi tantangan penindakan delik politik uang diantaranya, pertama, faktor struktur hukum (structure of law) yang kompleks, kedua, kultur hukum (legal culture) masyarakat kita yang permisif, dan ketiga substansi hukum (substance of the law) dari UU No.7/2017, misal subyek/pelaku delik politik hukum yang bersifat “delicta propria.”

Penulis dalam tulisan ini coba melacak delik politik uang dengan menggunakan pendekatan genealogi, walaupun bukan dalam makna hakiki. Melacak akar, perkembangan, dan transformasi delik politik uang dalam konteks historis-sosioligis, serta pada beberapa periode penting Pemilu yang telah diselenggarakan. Penulis juga khendak mengekspos norma larangan, sanksi, dan strategi penegakan hukumnya sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7/2023 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan UU No. 7/2017 tentang Pemilu menjadi UU). Sehingga peserta Pemilu tidak terjebak melakukan delik politik uang dan idealnya turut serta menjadi pengawas Pemilu partisipatif.

Genealogi Politik Uang

Istilah politik uang di Indonesia mulai digunakan pada akhir 1990- an. Walaupun definisi yang berkembang masih kabur, karena tidak terfokus pada distribusi uang/barang dari kandidat kepada pemilih di saat Pemilu maupun Pilkada. Misal, diawal Reformasi’98 orang seringkali menggambarkan praktik suap dikalangan lembaga legislatif —saat itu Pilkada masih diselenggarakan oleh DPRD— sebagai salah satu bentuk politik uang. Istilah yang sama juga digunakan untuk praktik pembelian suara dalam konteks kongres partai politik. Bahkan, istilah tersebut juga digunakan untuk praktik korupsi politik yang lebih bersifat umum, seperti keterlibatan anggota lembaga legislatif dalam penggelapan uang dari proyek-proyek pemerintah atau penerimaan suap dari  pengusaha (Aspinal dan Mada Sukmajati:2015,2). Saat ini definisi politik uang sudah lebih jelas dan terfokus pada distribusi uang dari kandidat kepada calon pemilih di Pemilu maupun Pilkada. Bahkan Aspinal dan Sukmajati lebih maju lagi, karena mengkaitkan praktik politik uang dengan patronase dan klientelisme.

Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2019, menunjukkan sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang hal biasa. Wajar atau tidak wajar, tapi secara historis-sosiologis praktik politik uang sudah terjadi sejak rezim kolonial Hindia Belanda. Sehingga mungkin secara alamiah masuk ke dalam alam bawah sadar psikologis masyarakat. Kemunculannya, menurut Ayuhanafiq (2019, 23) bermula sekira awal abad ke-20 ketika rezim kolonial Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemilihan langsung lurah/ kepala desa sesuai Indische Staatsregering (IS). Di satu sisi kebijakan ini melegitimasi adanya pemerintahan desa, tapi di sisi lain cara ini tidak lepas dari kepentingan rezim kolonial untuk melakukan intervensi terhadap institusi desa. Alih-alih demokratis, karena sistem lurah turun temurun digeser menjadi pemilihan langsung tapi yang terjadi adalah politik transaksional. Sebab untuk meraih banyak suara, warga yang memiliki hak memilih diberi “iming-iming” materi untuk memenangkan calon tertentu yang di-endorse rezim kolonial, jika menolak pasti diintimidasi secara fisik.

Dalam Sejarah Pemilu, terutama di Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 yang dikenal sebagai Pemilu paling demokratis di Indonesia, kita tidak mendengar adanya praktik politik uang. Walaupun praktik ini ada, mungkin tidak masif seperti di Pemilu lainnya. Untuk Pemilu dimasa rezim Orde Baru tidak perlu diukur, karena R. William Liddle (1992, 90-91) menegaskan Pemilu-pemilu Orde Baru adalah pengukur yang tidak sempurna kehendak politik rakyat. Sehingga sudah dipastikan Pemilu di masa rezim Orde Baru itu “corrupted.” Praktik politik uang menurut pengamat mulai marak dilakukan di Pemilu 2009, namun di Pemilu 2014 praktik ini mencapai klimaknya. Jimly Asshidiqie kepada portal berita detiknews.com (17/04/2014) menyebutkan praktik politik uang di Pemilu 2014 paling masif sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia. Selaras dengan Jimly, seorang aktifis dari ICW kepada koran Pikiran Rakyat (14/5/2014) memandang Pemilu 2014 sebagai Pemilu yang paling “brutal.” Bahkan salah seorang tokoh Ormas Islam kepada koran Waspada  (7/5/2014) juga menyebut Pemilu 2014 sebagai Pemilu yang “kapitalis, kanibal, dan korup.”

Jika dirunut ke belakang, persaingan untuk merebut suara pemilih dulu dilakukan antarpartai politik yang berbeda. Namun seiring dengan perubahan sistem pemilu proporsional terbuka sejak Pemilu 2004 menjadikan persaingan itu tidak antarpartai politik an sich, namun juga antarcalon anggota legislatif baik lintas partai  maupun dalam satu partai. Dengan sistem ini menjadikan peserta Pemilu in casu calon anggota legislatif “fardhu a’in” memiliki logistik kampanye cukup untuk berkompetisi. Bagi oknum peserta Pemilu praktik politik uang menjadi jalan pintas meraih dukungan pemilih. Bahkan seiring zaman praktik politik uang yang dilakukan pun mengalami transformasi kedalam bentuk yang lebih radikal. Setidaknya menurut Aspinal dan Sukmajati (2015, 24-28) jenis-jenis politik tersebut meliputi:

  1. Pembelian suara (vote buying), dapat dimaknai sebagai distribusi uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis di masa kampanye, masa tenang dan hari pemungutan suara pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi
  2. Pemberian-pemberian pribadi (individual gifts), dilakukan kandidat ketika bertemu dengan pemilih, dilakukan pada saat kampanye tatat muka, pertemuan terbatas dan metode lainnya. Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial (social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian sebagai kenang-kenangan.
  3. Pelayanan dan aktivitas (services and activities), modusnya seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas Di forum ini, para kandidat biasanya mempromosikan dirinya.
  4. Barang-barang kelompok (club goods), diberikan kandidat untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individual. Sebagian besar club goods di Indonesia bisa dibedakan dalam dua kategori, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan, atau lingkungan lain.
  5. Proyek-proyek gentong babi (pork barrel projects), definisikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Karakter utama dari pork barrel adalah bahwa kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat Sebagaimana yang akan kita lihat, banyak kandidat menjanjikan akan memberikan “program-program” dan “proyek-proyek” yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok- komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan. Karena itu, banyak kandidat petahana pada saat kampanye berusaha untuk menunjukkan rekam jejak (track records) mereka untuk meyakinkan pemilih akan keberhasilan mereka dalam menghadirkan “program- program” tersebut.

Larangan dan Sanksi Politik Uang

Politik uang menjadi salah satu ancaman serius Pemilu 2024 mendatang, terutama berpotensi marak di masa kampanye. Untuk itu Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyampaikan bahwa pembagian sembako pada masa kampanye dapat dikategorikan sebagai politik uang, sesuatu yang dilarang dalam pelaksanaan Pemilu apalagi di masa kampanye, seperti dikutip dari Kompas.com (08/12/2023). Bahkan sebelumnya pada laman haluanlampung.com (28/11/2023), Rahmat Bagja meminta semua pihak supaya mencegah adanya kecurangan dalam Pemilu 2024. Ajakan Bawaslu ini dimanifestasikan dengan larangan bagi semua Peserta Pemilu dari partai politik, calon legislatif, calon Presiden dan Wakil Presiden untuk tidak memberikan uang dan/atau sembako saat kampanye. “Money politic dalam bentuk apapun, tunai atau non tunai itu jangan sedikitpun terpikirkan, tegas Rahmat Bagja.

Potensi politik uang pada masa kampanye sangat tinggi, karena di masa ini kandidat melakukan kampanye dengan metode yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) PKPU No.15/2023. Salah satu metode kampanye yang banyak ditafsir sesat pikir (logical fallacy) oleh para oknum peserta Pemilu in casu para calon/kandidat diantaranya metode kampanye penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum (vide Pasal 26 ayat (1) huruf c PKPU No.15/2023). Bahan kampanye yang dimaksud sebenarnya secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2) PKPU No. 15/2023, dan batas paling tinggi nilai nominal bahan kampanye tersebut Rp. 100 ribu rupiah jika dikonversi dengan uang (vide Pasal 33 ayat (7) PKPU No. 15/2023). Bahan-bahan kampanye dimaksud diantaranya: (a) selebaran; (b) brosur; (c) pamflet; (d) poster; (e) stiker; (f) pakaian; (g) penutup kepala; (h) alat minum/makan; (i) kalender; (j) kartu nama; (k) pin; (l) alat tulis; dan/atau (m) atribut kampanye lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menganalogikan beras, minyak sayur, terigu dan sebagainya sebagai bahan kampanye dengan dalih nilainya jika dikonversi dengan uang tidak melebihi Rp 100 ribu rupiah adalah sesat pikir. Bahkan dengan interpretasi argumenten a contrario sekalipun itu tidak bisa diterima nalar hukum. Namun celakanya, terdapat oknum penyelenggara Pemilu di Kota Bogor yang membenarkan praktik pembagian sembako tersebut, dengan dalih paling tinggi Rp 100 ribu rupiah jika dikonversi dengan uang. “Si oknum” sesat pikir  ini patut diduga menganalogikan sembako ini dengan bahan kampanye (vide pasal 33 ayat (2) PKPU No. 15/2023 tentang Kampanye).

Larangan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye ini tegas diatur Pasal 280 ayat (1) huruf j UU No. 7/2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan bahwa, pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. Kemudian, Pasal 284 UU No. 7/2017 mempertegas larangan politik uang tersebut, sebagai berikut:

“Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk: (a). tidak menggunakan hak pilihnya; (b). menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; (c). memilih Pasangan Calon tertentu; (d). memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau (e). memilih calon anggota DPD tertentu, dljatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Norma imperatif dalam UU No. 7/2017 tidak hanya tercantum dalam Pasal 278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, dan Pasal 284, tetapi juga terbaca dalam Pasal 521 dan Pasal 523 UU No. 7/2017. Dalam Pasal 521 UU No. 7/2017 ditegaskan sebagai berikut:

“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”

Larangan politik uang sebagai sarana pengendalikan prilaku berpolitik dalam UU No. 7/2017 tidak hanya berlaku pada masa kampanye, tetapi juga berlaku pada masa tenang (vide Pasal 278 UU No. 7/2017) dan pada hari pemungutan suara sebagai norma yang bersifat imperatif. Karena sanksi larangan politik uang di masa kampanye, masa tenang, dan hari pemungutan suara memiliki sanksi pidana penjara dan denda yang penerapannya bersifat kumulatif, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 523 UU No. 7/2017, sebagai berikut:

“(1) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(2)    Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

(3)    Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

UU No. 7/2017 tidak hanya mengatur sanksi pidana yang berbasis pada teori imperatif untuk mengendalikan prilaku berpolitik dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keteraturan berpolitik dalam Pemilu, tetapi juga mengatur sanksi hukum administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 285 UU No. 7/2017, sebagai berikut:

“Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa:

  1. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau
  2. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.

Penegakan Hukum

Di alenia ketiga bagian pembuka diatas, disebutkan subyek delik politik hukum bersifat “delicta propria,” artinya delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, karena suatu kualitas hukumnya. Misal dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j UU No. 7/2017 disebutkan “pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu.” Hegemoni interpretasi norma subyek pelaku delik politik uang dalam UU No. 7/2017 secara litera legis –meminjam term PJ. Fitzgerald dalam Salmond on Jurisprudence (1966)- menyebabkan penegakan hukum Pemilu in casu penanganan delik politik uang terkadang tidak dapat memenuhi cita hukum (rechtsidee) yang berorientasi pada kepastian, keadilan, dan kemanfaatan sebagaimana didoktrinkan Gustav Radbruch. Sehingga pengawas Pemilu nanti harus berani membuat terobosan dengan melakukan penegakan hukum progresif. Namun tetap dalam pijakan kerangka regulasi, teori dan/atau doktrin hukum sebagai pondasi pembentuk argumentasi hukumnya (legal reasoning).

Penegakan hukum progresif yang dimaksud berpijak pada teori yang dibangun oleh Satjipto Raharjo sekira tahun 2002. Walaupun menurut Anthon F. Susanto (2019, 24) buku lengkapnya baru terbit tahun 2009 dengan judul “Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.” Menurut Satjipto Raharjo (2009, 95) diluar sistem teks adalah perilaku manusia dan yang terakhir ini menjadikan hukum itu kompleks serta tidak dapat diramalkan dengan tepat. Membaca peta perilaku adalah membaca proses-proses yang cair, sedang teks dan sistem teks adalah sesuatu finite scheme. Satjipto Raharjo menggeser dawai positivisme hukum dari teks dogmatik ke perilaku manusia. Konsep antroposentris Satjipto Raharjo melihat bahwa hukum dan perilaku itu identik, namun lebih fokus kepada peran dan tindakan manusia daripada teks. Sehingga hukum progresif melihat dunia dan hukum seperti — panta rei — semua mengalir, meminjam term Filsuf Heraklitos. Sehingga penegak hukum tidak terbelenggu dengan positivisme hukum dan legal analytical, karena hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum.

Dalam penanganan dugaan penyertaan pada delik politik uang, pengawas Pemilu dapat menggunakan kerangka hukum progresif untuk menjerat “penyerta,” vide Pasal 55-56 KUHP. Mungkin ini salah satu bentuk terobosan hukum dalam penanganan delik politik uang. Legal reasoning-nya walaupun UU No. 7/2017 merupakan lex specialis namun tidak mengesampingkan KUHP. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan penutup yang tidak mencantumkan frasa mengesampingkan KUHP (lihat pasal 570-571 UU No. 7/2017). Selain itu UU No. 7/2017 juga tidak menyebutkan secara eksplisit, delik pemilu sebagai pelanggaran atau kejahatan. Sehingga pasal 55 atau pasal 56 KUHP dapat diterapkan karena Pasal 2 KUHP menyebutkan:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”

Terobosan hukum ini telah dilakukan oleh penegak hukum Pemilu di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Provinsi Sumatera Utara dengan menerapkan pasal 55 ayat (1) KUHP terhadap subyek pelaku pelanggar Pasal 280 ayat (1) huruf j yang putusannya kini inkracht van gewisjde, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan No. 156/Pid.Sus/2019/PN.Psp, tanggal 8 Mei 2019. Majelis Hakim memutus Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah dan menjatuhkan pidana penjara dalam perkara a quovide pasal 523 ayat (2) UU No. 7/2017 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Terdakwa dalam hal ini selaku suami dari inisial “MS,” calon anggota DPRD Dapil I Kabupaten Paluta (terdakwa lain dengan berkas terpisah) yang diduga telah menyuruh lakukan delik politik uang ke beberapa orang (para terdakwa lainnya dengan berkas terpisah) untuk menyerahkan sejumlah amplop yang berisi uang kepada warga masyarakat Desa Portibi Julu Kecamatan Portibi, Kabupaten Paluta. Terdakwa bukanlah pelaku delik politik hukum yang berkedudukan sebagai “pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu.”

Penutup

Dus secara genealogi, praktik politik uang memang sudah terjadi berabad-abad lalu dan menyasar, serta mengakar sampai masyarakat desa. Celakanya praktik politik uang dianggap lumrah, jika melihat rilis lembaga survei diatas. Sebagai ikhtiar imperatif didalam UU No. 7/2017 terdapat norma larangan dan sanksi pidana dan denda yang mengatur secara jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 521 dan Pasal 523 jo. Pasal 278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, dan Pasal 284 UU No. 7/2017. Delik politik uang yang bersifat “delicta propria,” menyebabkan penegak hukum terkadang tidak dapat menjerat pelaku dengan tindak pidana Pemilu. Sehingga penerapan pasal penyertaan (vide pasal 55 KUHP) dalam penindakan delik politik uang pada Pemilu sebagaimana dilakukan di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Provinsi Sumatera Utara harus dijadikan preseden hukum agar terjadi konsistensi penanganan dugaan pelanggaran di Bawaslu in casu di Sentra Gakkumdu. Karena kini selain memiliki pijakan regulasi, teori dan/atau hukum, juga terdapat yurisprudensi yang dapat menjadi dasar penerapannya. Wallahu A’lam Bishawab