Wakil Ketua LSB PP Muhammadiyah: Tahlilan tak Bid’ah

Masyarakat Indonesia yang biasa melaksanakan tahlilan pada hari pertama, kedua sampai 1000 hari bahkan haul setiap tahunnya untuk mendoakan orang yang meninggal bukan bid’ah.

“Tahlilan dari tujuh hari 40 hari, 100 hari 1000 hari itu boleh dan tidak Bid’ah,” kata Wakil Ketua LSB PP Muhammadiyah, Kiai Cepu Husen, Ph.D dalam podcast di YouTube beberapa waktu lalu.

Menurut Kiai Cepu, tahlilan merupakan akulturasi budaya yang sudah diislamkan karena di dalamnya membaca Al Qur’an, tahlil, tahmid dan mendoakan orang meninggal. “Islam dan budaya tidak pernah dipisahkan,” tegasnya.

Kiai Kusen sendiri sebagai warga Muhammadiyah tidak pernah melakukan tahlilan. “Namun saudara-saudara yang melakukan tahlilan tidak ada yang salah,” paparnya.

Baca juga:  Muhammadiyah sudah Tetapkan 1 Ramadhan, Menag Minta Umat Islam Tunggu Hasil Itsbat

Menurut Kusen, KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah pernah dikafirkan karena melakukan modernisasi organisasi termasuk membuat sistem kelas dalam pendidikan.

“Kiai Haji Ahmad Dahlan pernah dikafirkan karena menggunakan sistem Belanda dalam sistem pendidikan. Orang yang mengkafirkan Kiai Haji Dahlan menggunakan hadits tetapi tidak tahu asbabul wurudnya,” paparnya.

Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang ialah ucapacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS. Al Baqarah ayat 208.

Baca juga:  Muhammadiyah Tegaskan LGBT Langgar Ajaran Islam

Fatwa Tarjih menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.