LFP Anti-Nikel, Kesalahan Berfikir Gibran

Gibran Rakabuming Raka (Gibran) mengalami kesalahan berfikir dengan menyebut LFP (Lithium Ferro Phosphate) anti-nikel.

“Pertanyaan Gibran, bahwa sering menyebut LFP identik dengan anti nikel adalah kesalahan berpikir yang sangat serius. Kesesatan berpikir. Fallacy of thinking,” kata Managing Director · Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan kepada redaksi www.suaranasional.com, Ahad (28/1/2024).

Kata Anthony, Indonesia bukan penentu arah teknologi baterai di masa mendatang, apakah akan berbasis nikel (NMC) atau LFP. Indonesia hanya supplier bahan baku saja.

“Yang menentukan arah teknologi baterai adalah produsen baterai dan pengguna (user) baterai antara lain produsen mobil listrik, dengan memperhitungkan biaya produksi, keamanan baterai, faktor lingkungan, masa pakai, dan lainnya,” jelasnya.

Pendapat atau pernyataan Tom Lembong, co-captain tim pemenangan 01, terkait baterai LFP, hanya mengungkapkan sebuah fakta perkembangan dan tren industri baterai, bahwa baterai LFP akan mendominasi industri baterai di masa mendatang.

Baca juga:  Debat Terakhir Cawapres, PPJNA 98: Gibran akan Ungguli Muhaimin dan Mahfud

“Karena, faktanya, tren penggunaan baterai LFP terus meningkat, mencapai lebih dari 30 persen pada 2022. Tesla dan BYD mendominasi kenaikan penggunaan baterai LFP global, dengan kontribusi lebih dari 60 persen,” jelasnya.

Di Tiongkok, penggunaan baterai LFP sudah melampaui NMC (Nikel) sejak 2021, mencapai hampir 70 persen dari seluruh mobil listrik di Tiongkok tahun 2023 (11 bulan).

Toyota Motor juga menyatakan akan mengembangkan baterai LFP.

Pendapat atau pernyataan Tom Lembong tersebut tidak ada urusannya dengan menolak nikel atau tidak. Tom Lembong juga tidak dalam posisi menentukan arah teknologi baterai dunia.

“Oleh karena itu, pernyataan bahwa baterai LFP akan mendominasi pangsa pasar baterai dunia, diartikan sebagai penolakan terhadap nikel, merupakan sebuah kegagalan paham yang sangat serius,” jelasnya.

Selanjutnya, pernyataan Cak Imin bahwa pertambangan nikel sudah “ugal-ugalan” dapat dilihat dari beberapa faktor dan fakta.

Baca juga:  Gugatan Pelanggaran TSM tidak akan Terbukti: Kemenangan Prabowo-Gibran Semakin Dekat

Pertama, pertambangan secara umum, termasuk nikel, hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Kata Anthony, hilirisasi (smelter) nikel didominasi dan dikuasai segelintir perusahaan asing. Mereka dikasih insentif pajak dan non-pajak, yang tentu saja merugikan keuangan negara. Ini “ugal-ugalan” pertama.

Kedua, kebanyakan, kalau tidak semua, pertambangan nikel terbukti merusak lingkungan, sangat parah, sehingga patut dilabeli “ugal-ugalan”.

Banyak warga di daerah pertambangan nikel diintimidasi, bahkan ada yang ditangkap dan dipenjara. Perusahaan tambang tersebut dibekingi oleh oknum pejabat dan aparat. Ini juga yang dimaksud dengan “ugal-ugalan”.

“Jejak “ugal-ugalan” pertambangan nikel yang menyebabkan pencemaran lingkungan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga, dapat ditemui di banyak pertambangan nikel, antara lain di pulau Wawonii, atau Mandiodo, Sulawesi Tenggara, atau di Maluku Utara,” pungkasnya.