RUU Kesehatan Disahkan, Rezim Jokowi Mengabaikan Petisi Guru Besar Lintas Profesi

Rezim Joko Widodo (Jokowi) telah mengabaikan petisi guru besar lintas profesi dengan pengesahan RUU Kesehatan.

“Dalam sehari terkumpul 197 tanda tangan pernyataan Petisi para Guru Besar lintas profesi, dengan dominasi profesi kesehatan terhadap RUU Obl Kesehatan,” kata Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS/Ketua Dewas PP IAI Chazali H. Situmorang dalam artikel berjudul “Guru Besar Yang Diabaikan”

Ada 4 poin yang disampaikan dalam Petisi para Guru Besar itu,

Pertama; RUU Kesehatan tidak memadai memenuhi azas transparansi, keterbukaan, partisipasi dan landasan filosofi, sosiologis, yuridis dan kejelasan rumusan.

Kedua; Tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk dirubahnya dengan pendekatan Omnibus law UU Sektor Kesehatan yang eksisting.

Ketiga; Ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa.

Keempat; Menuai kontroversi, dan penolakan secara masif dari berbagai stakeholder.

Disamping itu persoalan hilangnya Mandatory spending, kata Chazali dana sektor kesehatan, dan proyek bioteknologi yang mengancam biosekuritas yang ada dalam RUU Kesehatan akan mengancam ketahanan kesehatan bangsa.

Petisi Forum Guru Besar Lintas Profesi itu, ditandatangani 197 Guru besar Lintas Profesi, dan atas nama ke 197 Guru Besar adalah Prof Zainal Muttaqin, Prof. Andi Asadul Islam, Prof. Sukman T. Putra, Prof. Menaldi Rasmin membubuhkan tandatangan pada Dokumen Petisi Forum Guru Besar Lintas Profesi.

Dalam waktu sehari 9 Juli 2023 didukung oleh 197 Guru besar dan bahkan akan bertambah banyak yang ingin tandatangan jika waktunya lebih panjang.

Tetapi karena segera akan dikirim kepada Presiden dan Ketua DPR, untuk mengejar tenggat waktu, karena RUU Obl kesehatan akan disahkan dalam Sidang paripurna DPR 11 Juli 2023.

“Ternyata Petisi para Guru Besar itu tidak sanggup menembus hati Ketua DPR RI dan Presiden RI,” paparnya.

Dengan wajah datar dan pandangan tertuju ke para anggota DPR, Ketua DPR Puan Maharani, bertanya ”apakah RUU Kesehatan disetujui ?” terdengar suara beberapa anggota DPR menyatakan”setujuuu”.

RUU Kesehatan harus terus jalan dan menjadi UU Kesehatan yang baru, dan menghapuskan 9 UU Sektor Kesehatan lainnya.

Beberapa Guru Besar yang ditanyakan oleh dr. Bahar Sp.OG, dalam acara Jumpa Pers 10 Juli 2023, menyatakan bahwa jika RUU Kesehatan itu tetap ditetapkan menjadi UU Kesehatan, kami Guru Besar tidak berhenti berjuang.

Kami berjuang setidaknya dengan membuat tulisan keberbagai jaringan komunikasi nasional dan global. Mungkin para Guru Besar itu mengajak tekanan masyarakat dunia terhadap pemerintah Indonesia.

Kata Chazali, ada seorang Guru Besar meneteskan air matanya mengingat nasib masa depan penanganan kesehatan rakyat Indonesia dengan UU Kesehatan yang kontroversial itu.

“Bahkan ada seorang Guru Besar meneteskan air matanya mengingat nasib masa depan penanganan kesehatan rakyat Indonesia dengan UU Kesehatan yang kontroversial itu,” paparnya.

Petisi para Guru Besar itu, yang tentunya merupakan Guru mereka para aktivis 5 Organisasi Profesi Kesehatan (IDI, POGI, IBI, PPNI, IBI dan IAI, merupakan amunisi baru melanjutkan perjuangan. “Perjuangan sesugguhnya baru saja dimulai dengan disetujuinya RUU Kesehatan”, kata salah seorang aktivis Organisasi Profesi Kesehatan.

Mohammad Adib Khumaidi mengatakan jika DPR tetap mengesahkan UU Kesehatan, maka ada sejumlah upaya lain yang akan ditempuh.

Pertama, berupa jalur hukum dengan meminta judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar UU Kesehatan dicabut.

“Namun, mereka juga menyiapkan aksi mogok kerja bersama jika DPR dan pemerintah tetap berkeras dalam mengesahkan beleid tersebut,” tegasnya.

“Kami menyiapkan opsi mogok dalam upaya tidak merugikan kepentingan kesehatan rakyat, tidak juga merugikan regulasi yang ada tapi itu akan tetap jadi opsi yang akan kami siapkan,” kata Adib.

Ketua Umum IAI, Noffendri Roestam mengatakan jika satu organisasi profesi akan mogok, maka keempat lainnya akan melakukan hal yang sama.

“Jadi ada dua aksi yang kita lakukan, menempuh jalur hukum. Kemudian kita melakukan setop layanan dalam waktu yang kita tentukan bersama,” kata Noffrendi.

Noffendri Roestam, mengeklaim UU Kesehatan sulit diimplementasikan lantaran tidak mendapat dukungan dari tenaga medis dan nakes.

Satu pasal yang dikritisinya adalah Pasal 145 ayat 3 yang mengatur tentang pelayanan farmasi yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan lain – selain tenaga farmasi.

Noffendri menilai pasal tersebut sangat “karet” karena berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kesehatan apoteker yang sebetulnya tidak kurang.

Jangan heran jika nantinya di mall – mall begitu mudah mendapatkan obat-obat bebas tidak dari tangan tenaga kefarmasian dan dijual sembarang toko yang tidak berizin menjual obat.

“Setiap tahun apoteker diambil sumpahnya 7000 orang, enggak akan kekurangan Indonesia akan tenaga apoteker. Sekarang tinggal pemerintahnya apakah mau menyerap atau tidak,” katanya.