Menakar Perkawinan Politik Anies dan Puan

Oleh: *Yusuf Blegur

Bukankah extraksi politik itu, bagaimana mengelola kepentingan untuk mencapai tujuan?. Begitupun dengan upaya menyandingkan Anies dan Puan. Anies Baswedan memiliki kekuatan kultural yang direpresentasikan bukan hanya sekedar dari animo dan antusias semata, juga oleh euforia psikopolitik rakyat terhadap figurnya. Sementara Puan Maharani, tak bisa dipungkiri diusung kekuatan struktural yang bukan sekedar partai politik melainkan pada keyakinan ideologi, kader dan basis massa.

Kemungkinan menjodohkan Anies dengan Puan, merupakan pilihan politik yang sekilas tidak populer. Kasat mata cenderung melahirkan resistensi baik dari kalangan anasir lawan politik praktis maupun pada kedua kubu pendukungnya. Dalam persfektif ideal, figur keduanya mempunyai aspek-aspek kepribadian bercorak differensial, seperti resan minyak ke minyak resan air ke air. Keduanya relatif berbeda baik secara behavior maupun irisan politiknya.

Akan tetapi, bagaimanapun disparitas yang muncul terkait figur Anies dan Puan. Terlepas kelebihan dan kelemahan dua pemimpin muda politik itu. Secara esensi dan substansi, kekuatan yang menyokong Anies dan Puan tak bisa menghindar dari kebutuhan politik yang realistis dan rasional. Selain elaborasi kepentingan dan akomodasi pragmatis entitas politik lain tentunya. Lingkaran Anies dan Puan sama-sama dituntut untuk berjalan sesuai ‘on the track’ dan meraih tujuan, atau asyik berpetualang dan berselancar dengan dinamika politik yang ‘absurd’.

Mekanisme formal dalam UU pemilu dan pilpres, membuka ruang bagi PDIP dan siapapun yang akan mengusung dan menjadi partisipan dukungan capres Anies, berpotensi Untuk menjajaki pasangan Anies Puan mengikuti kontestasi pilpres 2024. Secara normatif, PDIP yang kuat dan aman dalam ranah konstitusional termasuk kemungkinan lolos electoral treshold dan presidential treshold. Proyeksi ke depan memungkinkan PDIP menjadi salah satu pemain kunci yang menentukan pusaran dan konstelasi pilpres 2024, jika mau menggandeng Anies dan Puan.

Seandainya saja pasangan Anies Puan telah menjadi kesepakatan politik dan ditawarkan ke publik. Besar kemungkinan resonansi dan polarisasi dukungan akan meluas mencapai relasi dan sinergi dengan partai politik, organisasi massa dan keagamaan serta komponen pendulang suara lainnya. PDIP relatif tak akan menghadapi kendala berarti untuk menggalang partai politik berakar nasionalis untuk menopang Anies Puan. Demikian juga Anies, yang sejak awal mendapat simpati dan empati umat Islam, berpeluang meraup dukungan dari partai politik berlandaskan Islam.

Mahligai pasangan politik Anies dan Puan pada akhirnya tidak hanya menjadi perkawinan politik taktis strategis menghadapi pilpres 2024. Kedua sejoli politik itu berpotensi mengembalikan roh dan jiwa nasionalisme religius yang sejauh ini mengalami porak-poranda dalam penyelenggaraan negara. Ada kebutuhan yang urghen menyangkut bangunan spiritual kebangsaan yang telah rusak akibat dominannya politik kekuasaan ansih. Bagaimana negara berdaulai dalam bidang politik, memiliki kemandirian dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, akan menjadi tantangan sekaligus keniscayaan tersendiri bagi pasangan Anies dan Puan saat memimpin NKRI nantinya. Terlebih realitas negeri kekinian, dalam cengkeraman kuku-kuku tajam dan cakar ologarki.

Memang terlalu sederhana dan terkesan naif membahas kohesi politik Anies dan Puan, untuk dijadikan sebagai titik tolak dan poros perubahan bangsa menjadi lebih baik. Mengingat begitu kuatnya kapitalisme global yang mengusung liberalisasi dan sekulerisasi ke hampir semua sendi kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Situasi dan kondisi rakyat terlanjur dalam terpuruk, menghirup udara kapitalisme global yang masif. Rakyat Indonesia menjadi begitu gandrung mencintai materi dan kebendaan lainnya, mengikuti jejak langkah para pemimpin, pejabat dan tokoh-tokoh sosial dan keagamaan yang sangat mencintai dunia dan kekuasaan. Anies dan Puan sekonyong-konyong harus merubah dari awal dan seperti baru, ketika ingin melakukan perubahan Indonesia menjadi jauh lebih baik. Terutama ketika distorsi penyelenggaraan negara oleh oligarki, telah menyebabkan luka yang dalam dan kerusakan fatal pada kehidupan kebangsaan yang tak mudah diperbaiki.

Pada akhirnya terbesit harapan rakyat Indonesia, bahwasanya perkawinan politik Anies dan Puan tidak saja sebagai upaya membangun keluarga yang “Sakinah mawadah warahmah” bagi bangunan rumah tangga politik keduanya. Lebih dari itu menjadi kebutuhan yang prinsip akan hadirnya implementasi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI yang diselimuti negeri yang “Baldatun thoyyibatun warobbun ghafur”.

Tidak sekedar mewariskan darah kepahlawanan dari sang kakek AR Baswedan. Begitupun dengan trah Soekarno dan ayahnya Taufiq Qiemas yang bijak dan seorang begawan politik.
“Chemistry” pasangan politik Anies dan Puan merupakan keniscayaaan yang bukan mustahil menjadi babak awal bagi budaya baru politik Indonesia.
Menjejaki kontestasi pilpres 2024 yang sebentar lagi dihelat, meminjam istilah orang Maluku dan Indonesia Timur lainnya, Anies Puan itu “seng ada lawan”.

Semoga.

*Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Lujur Berdikari