Bripda Ariq Irfansyah Tewas Diduga Dianiaya Senior, Aktivis Politik: Copot Kapolda Jabar!

Insiden tragis yang menewaskan Bripda Ariq Irfansyah di lingkungan barak Kompi Direktorat Samapta (Ditsamapta) Polda Jawa Barat kembali membuka luka lama dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia: kekerasan struktural dan budaya senioritas yang kerap berujung petaka. Bripda Ariq, anggota muda yang dikenal rajin dan pendiam, menghembuskan napas terakhirnya pada Jumat malam (31/10/2025) setelah diduga menerima serangkaian kekerasan fisik dari senior-seniornya.

Kematian Ariq memicu reaksi keras dari publik, termasuk aktivis politik Rahman Simatupang yang menilai bahwa insiden ini tidak bisa sekadar dianggap sebagai “pelanggaran individu”, melainkan kegagalan sistemik yang harus dipertanggungjawabkan oleh pimpinan.

“Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudi Setiawan harus dicopot. Ini bentuk tanggung jawab moral dan komando atas kematian yang tidak wajar,” tegas Rahman dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).

Informasi internal yang dihimpun menyebutkan bahwa insiden bermula ketika Ariq dan rekannya, Bripda Yudo, dipanggil oleh sejumlah senior mereka. Ariq ditegur karena tidak mengunci pintu mobil boks Dalmas, sedangkan Yudo dimarahi lantaran tidak berhasil membeli air minum yang diminta senior—dua kesalahan kecil yang semestinya dapat diselesaikan secara proporsional.

Namun, teguran itu berubah menjadi hukuman fisik berlebihan.
Keduanya disebut menerima pukulan, tamparan, serta tendangan di bagian dada dari para senior, termasuk dua nama yang kini mengemuka: Bripda Yuda Aprilia dan Bripda Hadiansyah Permana.

Baca juga:  DPR Minta Kapolda Jabar Dicopot

Ariq disebut sempat mengalami kejang-kejang setelah menerima tendangan keras. Rekan-rekan satu kompi panik ketika mendapati Ariq kehilangan kesadaran. Ia segera dibawa menuju RS Bhayangkara Sartika Asih, Bandung, pukul 23.30 WIB.

Selang 19 menit kemudian, pukul 23.49 WIB, dokter jaga dr. Annisa Kusumah Dewi menyatakan bahwa Ariq meninggal dunia akibat henti napas.

Rahman Simatupang melihat kematian Ariq sebagai peringatan keras bahwa budaya kekerasan dalam internal kepolisian belum benar-benar hilang. Ia menilai, pemimpin harus berani mengambil langkah tegas untuk memutus rantai kekerasan.

“Sebagai pimpinan, Kapolda harus memberi contoh dalam pembinaan hubungan senior–junior. Pencopotan Kapolda Jabar diperlukan untuk memperbaiki kultur kepolisian,” ujarnya tegas.

Rahman menyebut bahwa kasus-kasus serupa sebelumnya sering berakhir tanpa pembenahan menyeluruh, membuat kekerasan menjadi tradisi tak tertulis di sebagian satuan. Ia menekankan bahwa Polri harus berani menindak bukan hanya pelaku langsung, tetapi juga struktur komando yang lalai mengawasi.

Menanggapi kematian Ariq, Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Jawa Barat langsung mengamankan empat anggota yang diduga terlibat, yakni: Bripda RP, Bripda HP, Bripda YAP, Bripda RY

Sejumlah langkah investigatif telah dilakukan, termasuk pemeriksaan tempat kejadian perkara, penyitaan ponsel para terduga pelaku, hingga pengecekan CCTV di area barak.

Dalam pernyataan resminya, Polda Jawa Barat menegaskan komitmennya untuk menangani kasus ini secara transparan.

Baca juga:  Petisi Pencopotan Kapolda Jabar Membludak

“Polda Jabar berkomitmen menindaklanjuti kasus ini secara profesional dan transparan sesuai hukum yang berlaku.”

Selain proses etik internal, Polda Jabar memastikan bahwa laporan pidana akan dibuat untuk memastikan kepastian hukum, baik bagi keluarga korban maupun institusi.

Autopsi dijadwalkan untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk memastikan penyebab kematian secara detail dan ilmiah.

Kematian Bripda Ariq bukan hanya tragedi personal—tetapi refleksi rapuhnya sistem pembinaan personel di tubuh kepolisian. Dalam banyak kasus, kekerasan dilemparkan sebagai bentuk “pendisiplinan” atau “tradisi”, seolah hal itu merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan barak.

Namun, insiden tragis kali ini kembali menghidupkan tuntutan publik agar Polri melakukan evaluasi besar-besaran: dari pola pembinaan, pengawasan, hingga pola pikir para senior.

Kasus Ariq menjadi alarm bahwa perubahan kultur adalah kebutuhan mendesak—bukan pilihan.

Keluarga Ariq kini menanti kejelasan dan keadilan atas kematian anak mereka. Publik menanti apakah Polri benar-benar akan menindak tegas para pelaku dan memperbaiki sistem yang memungkinkan kekerasan terjadi.

Tuntutan pencopotan Kapolda Jabar semakin menguat di ruang publik. Namun, keputusan akhir kembali pada pimpinan Polri yang kini berada dalam sorotan.

Apakah tragedi ini akan menjadi momentum perubahan? Atau sekadar menjadi satu catatan hitam lagi dalam sejarah panjang kekerasan internal kepolisian? Waktu yang akan menjawab.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News