✍️ Oleh: Asruri Muhammad
(Pegiat Dakwah Muhammadiyah)
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir sering menegaskan pentingnya membangun manusia dan kader Persyarikatan sebagai prioritas utama gerakan. Pembangunan fisik hanyalah sarana, sementara yang paling mendasar adalah pembentukan insan beriman, berilmu, dan berakhlak.
Namun, sebagaimana saya singgung dalam tulisan Resonansi Quo Vadis Muhammadiyah, antara gagasan dan kenyataan seringkali masih terdapat jurang yang lebar. Salah satu cerminnya dapat dilihat pada nasib lembaga yang menjadi jantung kaderisasi ulama Muhammadiyah, yaitu Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta.
Lembaga Tertua yang Terlupakan
PUTM Yogyakarta didirikan pada 12 Muharram 1338H/16 April 1968M, menjadikannya salah satu lembaga pendidikan tertua di lingkungan Muhammadiyah. Lembaga ini memiliki visi yang amat strategis: mendidik dan menyiapkan ulama tarjih Muhammadiyah yang berkompeten dalam tafaqquh fi ad-din, dakwah, pendidikan, dan kepemimpinan Islami.
Di tengah krisis ulama di kalangan Persyarikatan, seharusnya keberadaan PUTM Yogyakarta menjadi tumpuan harapan. Namun ironisnya, di usia yang hampir enam dekade, lembaga ini belum menampakkan eksistensi yang kokoh secara kelembagaan.
Ketika di berbagai daerah gedung-gedung megah milik amal usaha Muhammadiyah berdiri dengan gagah, gedung PUTM Yogyakarta justru tumbuh lambat—seperti tanaman kekurangan air dan sinar matahari. Pembangunan gedung PUTM Yogyakarta yang kini berlangsung di Kalasan, Klaten, Jawa Tengah baru bisa berjalan berkat tanah wakaf seorang dermawan.
Sementara itu, biaya operasional harian PUTM Yogyakarta harus ditanggung bersama oleh dua perguruan tinggi, UMY dan UAD Yogyakarta, yang sejatinya juga sedang berjuang mengembangkan dirinya. Adapun Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, sebagai lembaga penyelenggara, memiliki keterbatasan dana dan sumber daya.
Curahan Hati dari Pengelola
Seorang Pimpinan Muhammadiyah senior bercerita dengan nada getir:
“PUTM Yogyakarta yang berdiri sejak 1968 sampai hari ini masih menumpang gedung lembaga lain. Dosen-dosennya digaji di bawah standar dosen PTM. Padahal setiap tahun PUTM Yogyakarta hanya menerima 60 mahasiswa—30 putra dan 30 putri—semuanya calon kader ulama Muhammadiyah.”
Ungkapan itu bukan sekadar keluh kesah, melainkan potret realitas yang seharusnya menggugah perhatian kita semua. Lembaga yang justru menyiapkan ruh ideologis dan keilmuan Persyarikatan, kini harus bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang semestinya tidak perlu terjadi.
Antara Gagasan dan Implementasi
Jika seruan Prof. Haedar tentang pentingnya pembangunan kader manusia benar-benar dijalankan secara konsisten, seharusnya PUTM Yogyakarta mendapat perhatian khusus. Di sinilah tempat lahirnya calon ulama tarjih, pemikir Islam berkemajuan, dan penjaga ideologis Muhammadiyah.
Namun faktanya, lembaga ini justru hidup “mengandalkan belas kasihan”. Padahal, tidaklah sulit bagi PP Muhammadiyah, PP ‘Aisyiyah, atau Lazismu tingkat pusat untuk bersama-sama mengalokasikan sebagian dana bagi keberlangsungan PUTM Yogyakarta.
Kepedulian pada lembaga seperti PUTM Yogyakarta sejatinya bukan hanya urusan finansial, melainkan komitmen moral dan ideologis. Karena dari lembaga inilah lahir kader-kader ulama yang akan menjaga arah pemikiran, dakwah, dan keilmuan Islam berkemajuan Muhammadiyah.
Antara Gedung dan Kader
Dalam dua dekade terakhir, Persyarikatan telah banyak menorehkan prestasi dalam pembangunan fisik: rumah sakit, universitas, hingga gedung-gedung megah berdiri di berbagai wilayah. Namun di sisi lain, lembaga yang mencetak manusia ulama, yang seharusnya menjadi roh dan ruhani gerakan, justru belum mendapatkan perhatian yang sepadan.
Pertanyaannya: apakah kita sedang membangun gedung, atau sedang membangun manusia?
Sebab tanpa manusia berjiwa ulama dan berpikiran tarjih, semua gedung megah itu hanyalah tubuh tanpa ruh.
Mengembalikan Martabat PUTM Yogyakarta.
Sudah saatnya Persyarikatan menempatkan PUTM Yogyakarta sebagai prioritas strategis dalam agenda pengembangan kader. Bukan semata sebagai lembaga kecil di bawah Majelis Tarjih, melainkan sebagai pabrik ideologis Muhammadiyah yang menjaga keutuhan manhaj, akidah, dan semangat Islam berkemajuan.
Kita tentu tidak ingin, di tengah semangat ekspansi dakwah hingga mancanegara, justru lembaga pencetak ulama Muhammadiyah hidup dalam kekurangan.
Karena jika kader ulama saja harus hidup “menumpang belas kasihan”, siapa yang akan menjaga ruh dan arah gerakan Muhammadiyah di masa depan?
🕊️ Semoga dari tulisan ini lahir kepedulian baru terhadap PUTM Yogyakarta—agar lembaga yang menyiapkan ulama tarjih Muhammadiyah tidak lagi menjadi anak tiri di rumah besar Persyarikatan.(*)
Tentang Penulis:
Asruri Muhammad adalah pegiat dakwah Muhammadiyah dan pemerhati kaderisasi ideologis di lingkungan Persyarikatan.





