Darurat Malpraktik: Saat Pasien tak Lagi Merasa Aman

Oleh Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan sosial

Dalam beberapa waktu terakhir, ruang-ruang publik dan media sosial diramaikan dengan kisah-kisah memilukan dari pasien atau keluarga pasien yang menjadi korban dugaan malpraktik. Tak hanya terjadi di kota-kota besar, kasus-kasus ini juga muncul dari rumah sakit daerah, klinik swasta, hingga puskesmas terpencil. Di saat masyarakat berharap mendapat pelayanan kesehatan yang aman dan manusiawi, justru muncul pertanyaan yang menghantui: benarkah tempat berobat juga bisa menjadi tempat kehilangan?

Beberapa kasus menjadi viral, mengundang simpati dan kemarahan publik. Seorang ibu kehilangan anaknya karena diagnosa yang keliru, pasien lain mengalami cacat permanen akibat prosedur yang tidak sesuai standar. Sementara itu, jauh dari sorotan kamera, banyak kasus lain tak pernah sampai ke publik. Mereka terbungkam oleh ketidaktahuan, ketidakberdayaan, atau bahkan tekanan dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

Di tengah meningkatnya keresahan ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin turut menjadi sorotan. Dalam rapat bersama DPR, ia dicecar pertanyaan-pertanyaan keras tentang sejauh mana pemerintah menyadari dan menangani masalah ini. Namun, publik tidak hanya butuh jawaban teknis. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan nyata terhadap rasa aman pasien. Malpraktik bukan semata persoalan medis—ia adalah cermin dari banyak hal yang belum beres di sistem kesehatan kita.

Kasus malpraktik seharusnya menjadi pengecualian, bukan kenyataan yang terus berulang. Namun faktanya, banyak pasien merasa menjadi “korban sistem”. Dari kesalahan diagnosis, keterlambatan penanganan, prosedur yang tidak sesuai SOP, hingga penggunaan alat medis yang tidak steril—semua itu bisa mengancam nyawa.

Lebih buruk lagi, sebagian besar korban tidak tahu harus melapor ke mana. Bahkan ketika mereka mencoba mencari keadilan, prosesnya rumit, melelahkan, dan sering berujung pada jalan buntu. Dalam banyak kasus, korban justru disalahkan atau diintimidasi. Ini membuat publik makin kehilangan kepercayaan terhadap institusi kesehatan.

Sudah terlalu sering kita mendengar istilah “oknum” digunakan untuk meredam masalah. Tapi dalam kasus malpraktik, akar persoalannya lebih dalam. Kita sedang berhadapan dengan kelemahan sistemik: mulai dari pengawasan yang lemah, kurangnya pelatihan berkelanjutan, standar operasional yang tidak seragam, hingga budaya institusi yang lebih fokus pada target bisnis ketimbang keselamatan pasien.

Baca juga:  Dokter dan Nakes Demo Tolak RUU Kesehatan, Aktivis Malari 74: Rezim Jokowi di Ambang Kehancuran

Sistem pendidikan kedokteran pun belum cukup menekankan pentingnya komunikasi, empati, dan tanggung jawab sosial. Di sisi lain, banyak rumah sakit tidak memiliki sistem audit internal yang ketat. Bahkan jika ada pelanggaran, sanksi sering kali tidak tegas, apalagi transparan.

Semua ini menunjukkan bahwa kita tidak sedang menghadapi masalah individu, tetapi sebuah sistem yang butuh dibongkar dan dibangun ulang dengan prinsip keadilan dan keberpihakan pada pasien.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Menkes Budi Gunadi Sadikin mendapat pertanyaan tajam dari para anggota dewan. Apa langkah konkret Kemenkes dalam menanggapi lonjakan kasus malpraktik? Apakah ada sistem pelaporan nasional yang mudah diakses? Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien?

Pernyataan Menkes yang menyinggung pentingnya digitalisasi layanan dan peningkatan mutu rumah sakit terdengar baik, tapi belum menyentuh akar persoalan. Masalah malpraktik tidak cukup diselesaikan dengan sistem informasi. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menata ulang regulasi, memperkuat lembaga pengawasan, dan memastikan akses keadilan bagi korban. Publik menunggu lebih dari sekadar pernyataan simpatik. Mereka ingin jaminan bahwa rumah sakit tidak menjadi tempat kehilangan harapan. Bahwa dokter dan perawat tetap manusia, tapi juga punya tanggung jawab yang tidak main-main terhadap keselamatan jiwa.

Salah satu alasan mengapa korban malpraktik sulit mendapat keadilan adalah ketimpangan posisi hukum. Untuk membuktikan bahwa sebuah tindakan medis adalah malpraktik, korban harus melalui proses yang rumit: menghadirkan ahli medis, melampirkan bukti teknis, dan berhadapan dengan tim hukum rumah sakit atau institusi kesehatan yang kuat.

Sementara itu, banyak pasien tidak memiliki sumber daya, jaringan, atau pengetahuan hukum yang memadai. Belum lagi risiko stigma sosial dan tekanan mental yang mereka alami. Dalam situasi ini, negara seharusnya hadir—bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai pelindung warga negara yang paling rentan.

Baca juga:  Jangan jadikan Kampus sebagai Budak Penguasa: Kasus Pemecatan Dekan FK Unair

Sayangnya, hingga hari ini belum ada mekanisme perlindungan pasien yang benar-benar kuat. Lembaga seperti Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sering kali tidak transparan dalam menangani kasus, dan lebih condong melindungi tenaga medis daripada membela korban.

Setiap kali muncul kasus malpraktik, siklusnya nyaris selalu sama: kasus viral, publik marah, pejabat berkomentar, lalu semuanya perlahan menghilang. Tidak ada evaluasi sistemik. Tidak ada perubahan kebijakan signifikan. Tidak ada sanksi tegas. Dan akhirnya, kasus baru pun kembali muncul.

Kita tidak bisa terus membiarkan rasa sakit dan kehilangan menjadi tontonan yang berlalu begitu saja. Perlu langkah konkret:

·       Membentuk sistem pengaduan publik yang independen dan mudah diakses

·       Menjamin pendampingan hukum bagi korban malpraktik

·       Membuka hasil investigasi ke publik secara transparan

·       Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengawasan tenaga kesehatan

·       Menata ulang regulasi perumahsakitan agar lebih berorientasi pada keselamatan pasien

Semua itu harus dilakukan bukan karena tekanan opini publik, tetapi karena itu adalah kewajiban moral dan konstitusional.

Dunia medis adalah dunia yang dibangun atas dasar kepercayaan. Ketika pasien datang ke rumah sakit, mereka menyerahkan tubuh, harapan, bahkan nyawanya kepada orang-orang yang mereka anggap ahli dan bertanggung jawab. Tapi kepercayaan itu kini mulai retak.

Malpraktik, sekecil apa pun, adalah pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan. Dan negara tidak boleh tinggal diam. Kita membutuhkan sistem kesehatan yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga adil secara struktural dan manusiawi secara etis.

Darurat malpraktik adalah peringatan keras. Ini bukan hanya soal medis, tapi soal arah kebijakan. Saatnya kita berhenti menormalisasi tragedi, dan mulai membangun sistem yang benar-benar berpihak pada keselamatan dan martabat manusia.

Karena sejatinya, setiap pasien yang masuk ke rumah sakit berhak keluar dengan rasa aman—bukan dengan trauma, kehilangan, atau kematian yang tak perlu.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News