Malam yang tak terlupakan terjadi di Auditorium Universitas Muria Kudus (UMK), saat Teater Guru Kudus resmi diluncurkan melalui pertunjukan perdana yang menggugah hati, Kamis (3/7/2024).
Ribuan penonton memadati ruangan, termasuk Bupati Kudus, Samani Intakoris, yang hadir langsung memberikan dukungan penuh.
Pentas ini bukan sekadar pertunjukan biasa. Ini adalah panggung di mana guru-guru mengganti kapur tulis dengan naskah drama, menyuarakan realitas kehidupan yang jarang terdengar — tentang pengabdian, tekanan hidup, dan idealisme yang diuji waktu.
Dalam sambutannya, Ahmad Shofya Edi, Koordinator MGMP Bahasa Indonesia Kabupaten Kudus, menyampaikan rasa bangganya:
“Kalau teater pelajar itu sudah umum, maka teater guru adalah luar biasa. Malam ini, dari panggung sederhana di Auditorium UMK, lahirlah Teater Guru Kudus. Semoga kelak bisa menghadirkan pentas yang lebih heboh, lebih dalam, dan lebih menggugah.”
Mengangkat Realita Guru Honorer: “Dilema di Titik Senja”
Pertunjukan perdana berjudul “Dilema di Titik Senja”, karya Siti Nur Hasisah dan disutradarai oleh Eko Wibowo, menjadi magnet utama malam itu. Lakon ini menyuguhkan potret getir kehidupan seorang guru honorer bernama Budi, yang hidup dalam kemiskinan bersama istri dan ketiga anaknya.
Mereka tinggal di gubuk reyot yang nyaris roboh. Anak sulungnya, Dedy, ingin melanjutkan kuliah tapi terbentur biaya. Anak kedua, Neneng, hanya menginginkan mainan sederhana, namun tetap tak bisa terpenuhi. Sementara si bungsu, Raka, menderita sakit yang tak kunjung sembuh.
Di tengah kemelut hidup, datang tawaran dari sang ayah, Pak Parto, agar Budi mencalonkan diri sebagai Kepala Desa dengan iming-iming dana besar. Tapi Budi menolak, karena tahu sumber uang itu tak halal.
“Lebih baik aku miskin tapi jujur, daripada kaya tapi penuh beban dosa,” ungkap Budi dalam adegan yang membuat banyak penonton meneteskan air mata.
Konflik keluarga pun memuncak. Istri dan dua anaknya marah atas sikap keras kepala Budi. Hanya Raka, si bungsu yang lemah, tetap mendukung idealisme ayahnya.
Sayangnya, kisah ini berakhir tragis. Raka meninggal karena sakit, membuat penonton larut dalam keheningan haru yang panjang.
Para pemain adalah guru dan siswa dari berbagai sekolah di Kudus, yang tampil dengan tulus dan total. Bukan penampilan yang sempurna secara teknis, tapi penuh ketulusan, pesan kemanusiaan, dan nyawa dalam setiap adegannya.
Salah satu panitia mengaku terkejut dengan antusiasme penonton:
“Di luar ekspektasi kami. Penonton membludak. Auditorium UMK hampir tak muat. Padahal hujan rintik turun sejak sore.”
Tak sedikit penonton yang berdiri hingga akhir pertunjukan. Banyak pula yang mengaku terharu dan tersentuh karena merasa kisah ini sangat dekat dengan kenyataan hidup yang mereka alami atau saksikan.
Teater Guru Kudus bukan sekadar ajang ekspresi seni. Ia hadir sebagai suara nurani dari para pendidik — suara yang selama ini lebih sering diam dan sibuk di ruang kelas. Lewat seni, mereka menyampaikan kegelisahan, perjuangan, dan harapan.
Dengan peluncuran ini, Teater Guru Kudus berharap bisa menjadi ruang kolaborasi kreatif antarguru, siswa, dan masyarakat. Sebuah wadah di mana cerita-cerita sederhana tentang kehidupan dan pendidikan bisa tampil dengan cara luar biasa. (Rokhmat Widodo, Guru Bahasa Indonesia SMK Luqmanul Hakim Kudus)