Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik
Pemerintah memproyeksikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 akan tembus Rp662 triliun, atau sekitar 2,45% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pernyataan itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat dengan DPR, dan langsung memantik perhatian publik.
Meski masih dalam batas aman Undang-Undang Keuangan Negara, angka tersebut tetap mengkhawatirkan. Apalagi beban belanja kian membengkak, sementara pendapatan negara dari sektor pajak belum mampu mengejar ketertinggalan. Dalam kondisi ini, defisit bukan hanya tantangan fiskal, tetapi menjadi ujian moral dan keadilan sosial.
Namun ada satu sumber penerimaan yang hingga kini belum dimaksimalkan: uang sitaan hasil korupsi.
Menurut Dr. Fadhil Hasan, pengamat ekonomi dari INDEF, “Defisit ini bukan hanya problem fiskal, melainkan cerminan dari kurangnya efektivitas pemerintah dalam memobilisasi sumber daya domestik. Salah satu yang kerap luput adalah pemanfaatan aset negara yang berasal dari hasil kejahatan, termasuk korupsi.”
Penyebab defisit APBN tidak bisa dilepaskan dari rendahnya tax ratio Indonesia (di bawah 12%), pemborosan subsidi energi yang tidak tepat sasaran, serta praktik korupsi dan kebocoran belanja di berbagai tingkatan. Proyeksi defisit yang meningkat juga terjadi karena meningkatnya beban belanja untuk infrastruktur, pemilu, ketahanan pangan, dan penyesuaian harga energi.
Sementara itu, dari sisi penerimaan negara bukan pajak, potensi besar justru datang dari aparat penegak hukum. Sepanjang 2024, Kejaksaan Agung menyita aset dan uang hasil korupsi senilai Rp44,14 triliun. Sayangnya, hingga akhir tahun, hanya sekitar Rp1,7 triliun yang benar-benar masuk ke kas negara.
Awal 2025 pun diwarnai kasus besar lain: dugaan korupsi ekspor CPO. Dalam perkara ini, Kejagung berhasil mengamankan uang tunai lebih dari Rp13 triliun. Ini menjadikan kasus tersebut salah satu penyitaan terbesar sepanjang sejarah.
“Jika uang itu bisa segera masuk dan dimanfaatkan, kita tidak hanya mengurangi defisit, tetapi juga memulihkan kepercayaan rakyat terhadap negara,” kata seorang ekonom fiskal dari UGM dalam pernyataannya.
Publik kian kritis melihat tumpukan uang sitaan yang mengendap di rekening penampungan. Banyak yang menanyakan kejelasan status hukum, proses lelang, hingga mekanisme penggunaannya. Yang menjadi ironi, dalam waktu yang sama negara sibuk mencari pinjaman baru dan menerbitkan Surat Berharga Negara, padahal ada dana triliunan yang mengendap menunggu eksekusi hukum.
Sebagian besar uang sitaan masih tertahan karena proses hukum yang panjang. Namun publik menuntut perubahan. “Kalau kejahatannya sudah jelas dan inkracht, kenapa negara tidak lebih cepat mengambil alih uangnya dan menggunakannya?” tanya Rini, warga Depok yang mengikuti berita korupsi BTS Kominfo lewat media sosial.
Dari perspektif keadilan sosial, uang yang dirampas dari koruptor seharusnya dikembalikan langsung ke masyarakat yang dirugikan. Korupsi di sektor pendidikan? Uangnya harus kembali ke sekolah. Korupsi infrastruktur? Gunakan untuk bangun jalan desa dan jembatan. Korupsi tambang ilegal? Salurkan untuk rehabilitasi lingkungan dan pemberdayaan warga terdampak.
Prinsip earmarking atau pengalokasian uang sitaan sesuai sektor asal korupsi dapat diterapkan. Selain adil secara moral, cara ini juga mendorong masyarakat lebih aktif mengawasi pemanfaatan uang hasil kejahatan korupsi.
Dalam kasus ASABRI dan Jiwasraya, misalnya, uang pengganti yang disita bisa dimasukkan ke dalam program pensiun nasional dan asuransi sosial berbasis negara untuk menjamin kembali hak para pensiunan. Atau dalam kasus CPO, sebagian dana bisa dialihkan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit, memperkuat pengawasan ekspor, hingga subsidi replanting bagi petani kecil.
Dalam situasi fiskal yang menekan, sejumlah solusi muncul:
-Reformasi perpajakan yang progresif: termasuk pajak digital, karbon, dan pengurangan insentif yang tidak efektif. Pemerintah juga harus memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak UMKM dan ekonomi digital.
-Rasionalisasi belanja negara: Pangkas proyek mercusuar dan belanja birokrasi yang boros. Alihkan ke sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, serta ketahanan energi dan pangan.
-Transparansi dan akuntabilitas belanja: Publik berhak tahu ke mana perginya setiap rupiah. Dashboard real-time APBN dan partisipasi publik dalam pengawasan bisa menjadi sarana kontrol sosial.
-Percepat pemanfaatan uang sitaan: Pemerintah perlu segera membuat mekanisme pemanfaatan langsung uang sitaan, baik dalam bentuk dana pemulihan sosial atau masuk dalam anggaran darurat nasional.
“Negara tak bisa terus-menerus berharap utang menutup semua kebutuhan. Harus ada keberanian politik untuk memanfaatkan sumber-sumber yang sebenarnya sudah tersedia, termasuk dari hasil kejahatan korupsi,” ujar Roy Salam, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), yang sejak lama menyoroti kebijakan fiskal berbasis keadilan.
Tak hanya Kejaksaan dan KPK, Polri pun terlibat dalam penyitaan uang dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Koordinasi lintas institusi sangat dibutuhkan agar proses perampasan dan pemanfaatan aset tidak terhambat ego sektoral.
Uang sitaan hasil korupsi bukan semata soal fiskal. Ia adalah simbol keadilan dan pemulihan kepercayaan publik. Seperti dikemukakan Dr. Evi Fitriani, dosen kebijakan publik UI, “Ketika masyarakat melihat uang hasil korupsi dikembalikan untuk memperbaiki layanan publik, di situlah kepercayaan terhadap negara mulai tumbuh kembali.” Setiap rupiah yang kembali ke rakyat membawa pesan moral: bahwa hukum bekerja dan negara berpihak.
Kita tentu masih ingat bagaimana uang rakyat digelapkan dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI. Triliunan rupiah hilang, dan jutaan pensiunan nyaris kehilangan hak mereka. Dalam konteks ini, pemanfaatan uang sitaan bukan hanya penegakan hukum, tapi juga pengembalian martabat publik.
Begitu juga dengan kasus-kasus besar seperti proyek fiktif BTS, gratifikasi pertambangan, hingga pengadaan barang fiktif. Setiap aset yang disita harus dilihat sebagai peluang pemulihan. Pemulihan ekonomi. Pemulihan rasa keadilan. Pemulihan kepercayaan.
Pemerintah juga bisa menjadikan momentum ini untuk memperkenalkan kebijakan Restorative Fiscal Justice — yaitu pendekatan anggaran yang mengutamakan pemulihan terhadap kelompok yang paling terdampak akibat praktik korupsi. Uang sitaan tidak hanya dikembalikan ke negara, tetapi diarahkan untuk membiayai layanan publik yang sebelumnya dikorupsi.
Menanggapi persoalan ini, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan dalam sebuah diskusi publik, “Kita memang harus lebih progresif dalam mengelola aset sitaan negara. Tapi kita juga harus hati-hati agar tidak menimbulkan preseden buruk secara hukum. Kementerian Keuangan mendukung pemanfaatan uang hasil rampasan, asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Defisit Rp662 triliun bukan akhir dari segalanya. Ia bisa menjadi peringatan, sekaligus peluang koreksi. Jika pemerintah mampu mengintegrasikan reformasi fiskal, keberanian moral, dan pemanfaatan uang sitaan dengan cara yang tepat sasaran dan transparan, publik akan kembali percaya bahwa APBN adalah alat keadilan, bukan sekadar neraca belanja.
Kita tidak kekurangan uang, kita kekurangan keberanian. Dan keberanian itu dimulai dari memilih berpihak: apakah uang rakyat akan terus dicuri dan dibiarkan mengendap, atau dikembalikan untuk membiayai masa depan bangsa?