Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik dan Sosial
Di negeri ini, ada satu pertanyaan yang menggema tapi nyaris selalu dijawab dengan hening: mengapa judi online tak kunjung padam?
Pemerintah sudah membentuk satgas, memblokir jutaan situs, bahkan membuat kanal pengaduan publik. Tapi judi online, atau judol dalam istilah netizen, tetap hadir di layar ponsel. Ia seperti jamur di musim hujan—dibabat hari ini, tumbuh kembali esok pagi. Dan yang lebih mencemaskan: aroma amisnya perlahan tercium sampai ke jantung kekuasaan.
Dalam sidang kasus judi online yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, nama seorang menteri mencuat dalam dakwaan. Ia bukan menteri sembarangan, melainkan tokoh yang selama ini dikenal sebagai ujung tombak pemberantasan konten negatif digital. Namanya: Budi Arie Setiadi, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika.
Dalam dakwaan itu, disebutkan bahwa Budi Arie meminta stafnya mencari orang yang bisa melakukan crawling situs judi, dan kemudian menunjuk seorang tenaga ahli meski tidak memenuhi kualifikasi. Orang inilah yang kemudian diduga menjadi pintu masuk “pengamanan situs judi” dengan tarif tertentu—konon Rp8 juta per situs, dengan dugaan aliran 50% jatah ke atas.
Budi Arie membantah, dan hingga kini memilih untuk tidak memberikan komentar. Tapi publik kadung gerah. Sebab semua ini terjadi di tengah kampanye besar-besaran yang digalang Kementerian Kominfo sendiri: menyelamatkan Rp100 triliun dana masyarakat, menurunkan 5 juta konten judol, dan membangun sistem literasi digital. Kampanye yang terlihat gagah di permukaan, tapi ternyata—jika dakwaan itu benar—dibayangi praktik yang justru berlawanan di dalam.
Kita menghadapi paradoks yang tajam: rakyat kecil yang tergiur slot recehan ditangkap dan dipajang ke publik sebagai kriminal, tapi struktur kekuasaan yang diduga jadi pelindung ekosistemnya tidak tersentuh. Negara tampil garang di hilir, tapi tumpul di hulu.
Dalam sistem digital hari ini, siapa pun bisa menjadi korban. Tapi yang menarik, siapa yang bisa jadi pelindung? Situs judi bisa aktif kembali dalam waktu kurang dari 24 jam setelah diblokir. Iklan slot bisa menyusup ke aplikasi yang terdaftar resmi di platform resmi negara. Bahkan, dalam beberapa kasus, aplikasi bermasalah itu berjejaring dengan program digitalisasi pemerintah.
Apakah semua ini semata-mata kelalaian teknis? Ataukah ada pola pembiaran? Atau lebih jauh: pemanfaatan?
Tak cukup menyalahkan satu-dua nama. Yang kita butuhkan adalah keterbukaan total. Audit menyeluruh atas kontrak digital, penyedia layanan hosting, pemilik domain, serta jejaring kerja sama yang dibangun kementerian terkait. Penegakan hukum tak boleh berhenti pada rakyat kecil yang mencuri waktu untuk bermain judi, tetapi harus menyentuh mereka yang diduga menjadikan sistem itu sebagai ladang basah.
Jika tidak, publik akan terus mencurigai: jangan-jangan semua ini hanya sandiwara. Negara terlihat tegas untuk citra, tapi diam untuk kekuasaan.
Di sini kita berhadapan dengan persoalan moral dan sistemik sekaligus. Judi online bukan sekadar kejahatan digital. Ia adalah cermin dari sistem birokrasi yang rusak, di mana kekuasaan bisa berdalih atas nama regulasi, dan penegakan hukum hanya menyasar yang lemah.
Lebih menyakitkan lagi, ini terjadi dalam era ketika pemerintah menggembar-gemborkan “transformasi digital”. Apa makna digitalisasi jika justru dibajak oleh korupsi dan manipulasi data?
Ada satu hal yang mesti kita jaga sebagai warga: akal sehat. Kita tidak ingin menteri dijatuhkan hanya karena asumsi. Tapi kita juga tidak ingin negara dibungkam hanya karena pejabatnya kebal.
Ketika nama seorang pejabat tinggi disebut dalam dakwaan, publik berhak tahu—dan pejabat itu berkewajiban memberi penjelasan, bukan sembunyi ke Vatikan dan berkata “no comment”.
Maka jika negara ini ingin dipercaya lagi, ia harus menunjukkan keberpihakan yang nyata: bukan pada pencitraan, tetapi pada kebenaran.
Selebihnya, kita semua tahu: bau busuk yang tak segera dibersihkan hanya akan menyebar. Dan kalau sumbernya ternyata berasal dari dalam gedung kekuasaan, maka membersihkannya bukan soal teknis, tapi soal keberanian politik dan moral.