Tantangan Polri di Era AI

Oleh: Abdul Rachmat Saleh, Direktur Lembaga Analisis dan Kajian Publik (LANSKIP)

Tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara, hari kelahiran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada 2025 ini, Polri memasuki usia ke-79, sebuah usia matang bagi institusi negara yang memikul tanggung jawab besar dalam menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri. Namun usia yang matang bukan berarti tantangan semakin ringan. Sebaliknya, kompleksitas dunia yang terus berubah dengan cepat, terutama karena disrupsi teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), menghadirkan spektrum tantangan baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya.

Kecanggihan AI telah mengubah lanskap ancaman dari yang bersifat konvensional menjadi semakin siber dan hibrida. Kejahatan kini tidak hanya dilakukan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya dengan dimensi dan kerusakan yang tak kalah besar. Mulai dari serangan siber terhadap institusi negara dan sektor vital, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian secara masif melalui bot AI, hingga deepfake yang bisa digunakan untuk memfitnah tokoh publik atau mengacaukan situasi politik menjelang Pemilu atau Pilkada.

Di tingkat internasional, AI juga menjadi instrumen dalam kejahatan lintas batas, seperti perdagangan manusia, narkoba, dan pencucian uang. Kejahatan terorganisir kini memanfaatkan AI untuk menghindari deteksi aparat hukum, baik dengan menyembunyikan jejak digital maupun menggunakan AI untuk memantau pergerakan aparat. Dalam konteks ini, tugas Polri bukan hanya menjaga ketertiban umum, tapi juga mempersenjatai diri dengan kapabilitas digital dan kemampuan prediktif berbasis AI.

AI pada dasarnya adalah alat. Ia bisa menjadi peluang atau ancaman, tergantung siapa yang mengendalikannya. Untuk Polri, AI semestinya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan efektivitas kerja dan pelayanan publik. Misalnya, teknologi facial recognition dapat membantu pengenalan pelaku kejahatan di tempat umum, sementara predictive policing bisa memetakan potensi kejahatan di suatu wilayah berdasarkan data historis.

Namun demikian, pemanfaatan AI juga membawa persoalan etika dan risiko penyalahgunaan. Tanpa regulasi dan akuntabilitas, penggunaan AI oleh aparat penegak hukum berpotensi mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi jika algoritma yang digunakan mengandung bias, maka ketidakadilan dalam penegakan hukum bisa terjadi secara sistematis dan tak kasatmata.

Tantangan Polri bukan hanya soal kesiapan teknologi, tetapi juga kesiapan kelembagaan. Ada tiga tantangan mendasar yang perlu dicermati:

1. Kapabilitas SDM
Pemanfaatan AI membutuhkan sumber daya manusia dengan kompetensi digital tinggi. Sayangnya, hingga kini belum semua personel Polri memiliki literasi digital yang memadai. Pelatihan berskala besar dan rekrutmen talenta digital dari luar institusi menjadi keharusan untuk menjawab tantangan ini.

2. Adaptasi Organisasi
Struktur organisasi Polri yang masih berbasis komando tradisional perlu diadaptasi agar lebih lincah menghadapi kejahatan digital. Polri perlu membentuk satuan-satuan khusus berbasis teknologi dengan fleksibilitas tinggi, seperti Cyber Crime Response Unit yang benar-benar independen dan agile.

3. Budaya Kelembagaan
Reformasi kultural di tubuh Polri harus terus dilanjutkan. Dalam menghadapi era digital, integritas dan transparansi menjadi kunci. AI bisa digunakan untuk merekam proses interaksi antara polisi dan masyarakat, namun akuntabilitas tetap bergantung pada niat dan integritas aparat.

Polri 5.0: Menuju Kepolisian Masa Depan

Untuk mampu eksis dan relevan di era AI, Polri harus bertransformasi menjadi institusi kepolisian 5.0—yakni lembaga penegak hukum yang humanis, berbasis data, dan mampu mengelola teknologi secara bijak. Artinya, teknologi bukan hanya digunakan untuk meningkatkan efektivitas kerja, tetapi juga untuk membangun kepercayaan publik.

Salah satu agenda mendesak adalah membangun sistem forensik digital nasional yang terintegrasi. Dengan demikian, bukti digital dari berbagai kejahatan—mulai dari rekaman CCTV, jejak media sosial, hingga data transaksi elektronik—dapat ditelusuri dan dianalisis secara cepat dan sah secara hukum.

Selain itu, perlu pula ada sinergi antara Polri, akademisi, dan sektor swasta dalam membangun ekosistem keamanan digital nasional. Kolaborasi ini penting agar Polri tidak tertinggal dari para pelaku kejahatan yang selalu satu langkah lebih maju dalam hal inovasi.

Tantangan Polri di era AI adalah bagaimana menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan kepercayaan publik. Dalam dunia yang serba algoritmik, yang paling dibutuhkan justru adalah sentuhan kemanusiaan. Polisi tetaplah pelayan masyarakat, bukan sekadar operator mesin.

Dengan refleksi Hari Bhayangkara ke-79 ini, saatnya Polri menetapkan visi baru sebagai pelindung masyarakat di era digital—yang tidak hanya sigap secara teknologis, tetapi juga tangguh secara moral.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News