KPK di Persimpangan: Antara Harapan dan Tekanan

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik

Lahir dari krisis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak pernah menempuh jalan yang mudah. Sejak didirikan tahun 2002, KPK hadir bukan karena sistem peradilan kita kuat, melainkan karena sistem itu justru runtuh dihadapan korupsi. Lembaga ini dibentuk karena harapan rakyat yang sudah muak melihat hukum hanya berpihak pada mereka yang punya kuasa dan uang.

Dalam sejarah pemberantasan korupsi global, pengalaman Hong Kong menjadi pelajaran penting. Pada awal 1970-an, korupsi di sana begitu dalam dan merata—dari aparat keamanan hingga layanan publik. Pemerintah kolonial Inggris kemudian membentuk Independent Commission Against Corruption (ICAC), lembaga yang diberi kewenangan luas untuk memberantas korupsi secara independen. Salah satu momen penting yang membangun kredibilitas ICAC adalah keberhasilannya menuntut seorang perwira tinggi kepolisian yang diduga memperkaya diri secara tidak sah.

Namun lembaga antikorupsi, sekuat apa pun, tidak akan lepas dari tekanan politik. ICAC pun sempat mendapat perlawanan dari internal aparat negara. Bahkan pada suatu waktu, markasnya diserbu ratusan polisi. Meski akhirnya bertahan, pengalaman itu menunjukkan bahwa kekuasaan lama tak akan mudah dikalahkan.

KPK mengalami tantangan serupa. Diberi mandat besar untuk menyelidiki dan menuntut tindak pidana korupsi, lembaga ini pernah menjadi simbol keberanian dan ketegasan hukum. Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat tinggi negara sempat menjadi agenda yang rutin menghiasi berita utama. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kekuatan KPK mulai digerus. Revisi undang-undang, pergeseran struktur organisasi, hingga pemilihan pimpinan yang kontroversial menjadi sinyal bahwa KPK tidak lagi berdiri sekuat dulu.

Meski begitu, KPK tetap menunjukkan kerja nyatanya. Sejumlah kasus besar masih ditangani, membuktikan bahwa api semangat pemberantasan korupsi belum sepenuhnya padam.

Baru-baru ini, KPK menetapkan Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan. Nilai proyek mencapai ratusan miliar rupiah, dan uang sogokan yang diterima tidak kalah besar. Selain itu, penyidikan terhadap dugaan korupsi dalam akuisisi aset PT Jembatan Nusantara juga menarik perhatian, terutama karena ditemukan barang-barang mewah yang diduga hasil gratifikasi.

KPK juga tengah menelusuri jejak penyimpangan dana haji. Beberapa tokoh masyarakat telah dipanggil sebagai saksi, dan kemungkinan keterlibatan pejabat tinggi tak ditutup. Di bidang lain, investasi fiktif yang melibatkan PT Taspen mengungkap potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah. Ini hanya sebagian dari daftar panjang kasus yang sedang ditangani.

Semua itu menjadi bukti bahwa korupsi masih menyebar luas dan merasuk dalam banyak lini pemerintahan. Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, korupsi merusak kepercayaan. Ia menimbulkan sinisme, menciptakan jurang antara rakyat dan negara. Ketika orang mulai percaya bahwa hukum hanya untuk yang lemah, maka tatanan sosial pelan-pelan runtuh.

KPK tidak akan mampu menghadapi tantangan ini sendirian. Lembaga ini butuh dukungan luas: dari masyarakat sipil, media, kampus, hingga aparat internal yang berintegritas. Ketika publik diam atau masa bodoh, kekuatan koruptor akan semakin tak terbendung. Ketika rakyat berhenti percaya bahwa KPK bisa menyelamatkan negeri ini dari kebusukan, maka pelemahan lembaga ini hanya tinggal menunggu waktu.

Perlawanan terhadap korupsi bukanlah pekerjaan musiman. Ini bukan perlombaan singkat, melainkan perjalanan panjang yang memerlukan konsistensi dan pengorbanan. Terkadang hasilnya tidak segera terlihat, tapi jika dikerjakan dengan komitmen, perubahan akan datang.

Dalam menghadapi semua tekanan dan keterbatasan, KPK tetap harus berdiri. Bukan karena ia sempurna, tetapi karena harapan masyarakat ada padanya. Selama korupsi masih ada, selama keadilan masih dinodai oleh kekuasaan yang korup, selama itu pula kita butuh KPK.

KPK adalah cermin yang memantulkan sejauh mana negara ini serius menjaga moralitas kekuasaan. Dan selama cermin itu masih berdiri, publik masih punya kesempatan untuk bercermin—dan bertindak.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News