Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik
Suatu pagi yang sepi di jalan luar kota, seorang jurnalis melihat dua polisi duduk di pinggir jalan. Mereka sedang menjemur uang di atas rerumputan. Aneh memang. Tapi lebih aneh lagi saat diketahui dari mana uang itu berasal: dari para sopir truk yang lewat, diselipkan dalam kotak korek api, dilempar dari jendela. Dan rupanya, uang itu sebelumnya diludahi.
Mungkin terdengar jorok. Tapi sebenarnya itu simbol. Simbol protes dari mereka yang tak berdaya. Mereka tetap memberi uang itu—karena terpaksa. Tapi mereka juga ingin menunjukkan rasa muak. Inilah relasi yang kacau: antara rakyat yang lelah dan polisi yang tak lagi dipercaya.
Tanggal 1 Juli selalu diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Dulu, di zaman Majapahit, Bhayangkara adalah pasukan elit penjaga raja. Tapi sekarang, kita bukan lagi kerajaan. Kita republik. Dan polisi semestinya bukan penjaga kekuasaan, tapi pelindung masyarakat.
Sayangnya, sejarah panjang Polri di Indonesia membuat peran itu tidak pernah benar-benar bersih. Di masa kolonial, polisi dibentuk untuk menjaga kekuasaan kolonial. Setelah merdeka, warisan itu terbawa—dan hingga kini, reformasi masih terus diupayakan.
Pada tahun 2000, Polri dipisahkan dari TNI. Langkah besar. Tapi langkah itu belum selesai. Di lapangan, masih banyak keluhan. Laporan yang tidak ditanggapi, perlakuan tidak adil, hingga pungli kecil-kecilan di pos jalan. Banyak warga yang merasa polisi hanya hadir saat razia, tapi absen saat bantuan benar-benar dibutuhkan.
Padahal kerja Polri tak sepenuhnya buruk. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus besar berhasil diungkap. Jaringan narkoba, premanisme, hingga perdagangan orang ditindak. Tapi sering kali, kebaikan itu tertutup oleh kasus lain yang lebih mencolok.
Contohnya, kasus di NTT. Seorang mantan Kapolres, AKBP Fajar Widyadharma, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus ini memukul kepercayaan publik. Seorang pejabat tinggi polisi justru menjadi pelaku, bukan pelindung.
Di sisi lain, banyak polisi yang tetap setia pada tugasnya. Di desa-desa, kita masih melihat Bhabinkamtibmas yang mendamaikan konflik warisan, atau polisi yang membantu korban kecelakaan tanpa pamrih. Mereka bekerja dalam diam, tanpa disorot media. Tapi mereka inilah harapan yang masih menyala.
Warga sebenarnya tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin diperlakukan adil. Polisi yang mau mendengarkan, yang tidak memandang siapa yang melapor. Polisi yang datang bukan hanya saat ada razia, tapi juga ketika anak hilang, rumah dirampok, atau tanah sengketa.
Hari Bhayangkara ke-79 mestinya bukan hanya perayaan. Tapi juga refleksi. Apakah polisi sudah kembali ke ruh pengabdiannya? Apakah keadilan sudah menjadi kompas utama, bukan kekuasaan?
Perubahan tidak bisa hanya di struktur. Harus masuk ke cara berpikir. Selama masih ada anggapan bahwa hukum bisa dinegosiasi, maka kepercayaan publik akan terus goyah. Polisi harus menjadi wajah keadilan, bukan bayangan yang ditakuti.
Kita bukan lagi kerajaan. Tidak ada raja yang harus dilindungi. Tapi ada jutaan rakyat kecil yang berharap pada seragam cokelat itu. Harapan agar hukum hadir tanpa pilih kasih, dan pengayoman tak tergantung pada jabatan atau isi dompet.
Selamat Hari Bhayangkara ke-79.
Semoga bukan hanya jadi momen seremoni, tapi juga awal dari perubahan yang nyata—agar Bhayangkara kembali jadi simbol kepercayaan, bukan sekadar kenangan masa lalu.