Dilema Pulau Kecil: Di Tengah Ambisi Ekonomi dan Jeritan Warga Lokal

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik

Dalam beberapa tahun terakhir, isu jual beli pulau kecil di Indonesia kembali menjadi sorotan dan memicu kekhawatiran banyak pihak. Perbincangan ini mencuat setelah sejumlah pulau di wilayah Indonesia—seperti di Kepulauan Anambas, Pulau Panjang (Nusa Tenggara Barat), dan Pulau Seliu (Bangka Belitung)—muncul di situs jual beli pulau milik perusahaan Kanada, Private Islands Inc. Situs tersebut memasarkan pulau-pulau tropis Indonesia sebagai “surga tersembunyi” yang ideal untuk dijadikan resor eksklusif, lengkap dengan janji kealamian dan lokasi strategis “tak jauh dari Singapura.”

Kehadiran nama-nama pulau Indonesia di situs tersebut memicu respons cepat dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa secara hukum, pulau kecil di Indonesia tidak dapat diperjualbelikan karena tidak ada aturan yang mengizinkan kepemilikan pribadi atas wilayah tersebut. Yang diperbolehkan hanyalah pengelolaan terbatas melalui skema investasi dengan persyaratan perizinan yang ketat. Penegasan serupa juga disampaikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang menyatakan bahwa kepemilikan penuh oleh pihak asing tidak dimungkinkan, apalagi jika status lahannya hanya sebatas Hak Guna Bangunan (HGB).

Meski secara hukum penjualan pulau kecil dilarang, realitas di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda. Privatisasi pulau tetap berlangsung, baik melalui jalur legal maupun cara-cara yang abu-abu. Banyak pulau kecil kini telah dikuasai oleh perusahaan atau individu, yang kemudian membangun vila mewah, resor wisata, hingga kawasan eksklusif yang hanya dapat diakses kalangan tertentu. Akibatnya, warga lokal yang selama ini hidup dan bergantung pada wilayah tersebut perlahan kehilangan hak atas tanah dan laut yang dulu mereka jaga turun-temurun.

Di Karimunjawa dan Pulau Pari, keresahan masyarakat semakin terasa. Bambang, seorang nelayan dari Karimunjawa, menceritakan perubahan drastis di daerahnya. Tanah yang dulu digunakan untuk menanam kelapa kini telah berpindah tangan ke pengusaha dan berubah menjadi area wisata mewah. Menurutnya, hanya sekitar 20% wilayah pantai yang masih dihuni oleh warga lokal—sisanya telah jatuh ke tangan investor. Ia menilai pemerintah dan pengusaha seolah bersekutu demi kepentingan investasi, sementara masyarakat lokal justru menjadi pihak yang dikorbankan.

Sebenarnya, praktik semacam ini bukan hal baru. Sejak 2006, berbagai kasus serupa sudah terjadi di wilayah-wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan. Meski pemerintah daerah sering menyebut statusnya hanya sebagai “pengelolaan,” kenyataannya masyarakat tetap kehilangan akses dan ruang hidup yang selama ini mereka tempati.

Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyoroti bahwa salah satu akar persoalan dari maraknya jual beli pulau kecil adalah sudut pandang pemerintah itu sendiri. Pulau-pulau kecil lebih dilihat sebagai aset ekonomi yang bisa diperdagangkan, bukan sebagai ruang hidup yang menyatu dengan alam dan budaya masyarakat. Pemerintah tampak lebih berfokus pada nilai jual dan potensi pendapatan yang bisa dihasilkan dari pulau-pulau ini, ketimbang melihatnya sebagai bagian penting dari ekosistem yang rapuh dan identitas masyarakat lokal.

Kebijakan pun mencerminkan hal tersebut. Pemerintah memberi ruang sangat luas bagi swasta untuk mengelola hingga 70% wilayah pulau, sementara hanya 30% yang diwajibkan untuk dijaga sebagai area publik atau konservasi. Ini menjadi persoalan serius, mengingat pulau-pulau kecil memiliki daya dukung yang terbatas, dengan kondisi geografis dan sosial yang rentan terhadap tekanan eksternal.

Padahal, secara ekologis, pulau-pulau kecil punya peran penting—mereka menjadi benteng alami terhadap abrasi, tempat berkembang biaknya spesies laut, dan bagian dari sistem kehidupan masyarakat pesisir. Penelitian yang dilakukan oleh Yoppie Christian dan timnya menemukan bahwa sifat insular atau keterpisahan geografis pulau-pulau kecil membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi. Ketika kekayaan alam ini dikomersialisasi oleh pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan, maka dampaknya bukan hanya pada alam, tapi juga pada kehidupan sosial masyarakat yang bergantung padanya.

Sementara itu, perusahaan asal Kanada bernama Private Islands Inc. menjalankan bisnis jual beli pulau dengan sangat profesional—dan agresif. Perusahaan ini didirikan oleh Chris Krolow dan telah mengumpulkan daftar ratusan pulau dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, untuk kemudian dipasarkan secara online. Dalam banyak iklannya, harga pulau tidak ditampilkan secara terbuka, melainkan hanya akan diberikan berdasarkan permintaan calon pembeli. Nilai transaksi pun fantastis, bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta dolar AS. Bahkan, menurut Krolow, pandemi COVID-19 sempat menjadi momen lonjakan minat orang-orang super kaya untuk membeli pulau sebagai tempat “melarikan diri” dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan.

Dari sisi regulasi, Indonesia sebenarnya tidak kekurangan aturan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sudah secara tegas mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, masalahnya ada pada implementasi. Pengawasan dari pihak pemerintah terhadap aktivitas para pengusaha di wilayah ini sangat lemah—bahkan bisa dibilang sering kali abai.

Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat bahwa sejak 2018, setidaknya sudah ada lebih dari 100 pulau yang berpindah ke tangan swasta. Angka ini terus naik hingga mencapai 226 pulau pada tahun 2023. Susan juga menyoroti paradigma pemerintah yang masih menganggap pulau-pulau “kosong” sebagai sumber keuntungan ekonomi. Padahal kenyataannya, banyak dari pulau tersebut telah lama dihuni dan dikelola oleh masyarakat lokal, yang hidup selaras dengan alamnya.

Privatisasi pulau-pulau kecil membawa dampak nyata bagi kehidupan masyarakat pesisir, terutama nelayan. Ketika garis pantai dan wilayah laut dikuasai oleh perusahaan swasta, nelayan kehilangan kebebasan mereka untuk mencari ikan atau bahkan sekadar menambatkan perahu. Ruang hidup yang dulu terbuka kini menyempit, dan mata pencaharian pun ikut terancam. Kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada investor besar justru memicu konflik agraria, mempercepat kerusakan ekosistem pesisir, dan meminggirkan budaya serta identitas masyarakat kepulauan yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Fenomena jual beli pulau ini bukan sekadar soal kepemilikan lahan atau urusan legalitas semata. Lebih dalam dari itu, isu ini menyentuh persoalan fundamental: soal kedaulatan negara, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Sayangnya, pemerataan pembangunan dan pengawasan terhadap pulau-pulau kecil masih jauh dari kata adil. Akibatnya, yang menjadi korban adalah masyarakat lokal—mereka yang sejak lama hidup dan bergantung pada pulau-pulau itu.

Jika tren ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat mereka benar-benar akan terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Lantas, sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Apakah akan terus dibiarkan tanpa solusi? Hanya waktu yang bisa menjawab. Wallahu a’lam.

 

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News