Siang yang terik tidak menyurutkan semangat rombongan Korea Testing and Research Institute (KTR) untuk mencicipi kekayaan kuliner khas Sunda di Kota Bogor. Usai melangsungkan pertemuan resmi dengan Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim di Balai Kota, para tamu asing yang dipimpin oleh Director of KTR Indonesia, Woo DongHyeok, melanjutkan agenda dengan sesuatu yang lebih santai namun tak kalah penting: makan siang di Warung Bakakak Sampurasun Nusasari, Kota Bogor, Rabu (25/6/2025).
Dalam rombongan tersebut turut hadir Associate Manager of KTR Indonesia, Dahnisya K. Sari; President Director of HS Indonesia, Kim Yongtae; serta penerjemah, Kim Bokyun. Mereka juga didampingi tokoh lokal, Direktur Eksekutif Laskip Kota Bogor, Abdul Rachmat Saleh.
Kedatangan KTR ke Bogor bukan tanpa alasan. Selain sebagai bagian dari diplomasi teknis dan kerja sama internasional, lawatan ini menjadi bentuk penguatan hubungan antara institusi riset Korea dan potensi industri serta pemerintahan lokal di Indonesia, khususnya Bogor. Namun di luar agenda resmi, pilihan untuk menyisipkan momen kuliner menjadi tanda bahwa diplomasi rasa bisa menjadi jembatan yang kuat antara budaya yang berbeda.
“Setelah pembahasan yang cukup serius di Balai Kota, kami ingin memberikan pengalaman lokal yang hangat kepada rombongan KTR. Dan tak ada yang lebih autentik dibandingkan makan siang di Warung Sampurasun Nusasari,” ujar Abdul Rachmat Saleh.
Warung Bakakak Sampurasun Nusasari Kota Bogor suasananya yang asri dan nuansa kayu tradisional yang lekat membuatnya jadi pilihan ideal untuk mengenalkan budaya kuliner Sunda. Siang itu, para tamu disuguhi nasi liwet lengkap dengan ayam bakakak—ayam kampung yang dibakar dengan bumbu khas Sunda, disajikan utuh dan dibagi bersama di atas daun pisang.
“Ini luar biasa,” ujar Kim Yongtae sambil tersenyum lebar, menggunakan tangan kanannya untuk mengambil lalapan dan sambal terasi. “Makanan ini sangat berbeda dari makanan Korea, tapi rasanya sangat lezat dan membuat saya merasa seperti di rumah.”
Liukan aroma ayam bakar yang berpadu dengan harum nasi liwet yang dimasak dengan beragam rempah seperti daun salam dan serai menghadirkan sensasi yang membuat setiap suapan jadi pengalaman yang mengesankan. Ditambah lagi dengan sajian sambal pedas dan lalapan segar seperti timun, daun kemangi, dan tomat, menu ini menjadi simbol kehangatan ala masyarakat Sunda.
Kehadiran makanan sebagai bagian dari agenda kunjungan kerja institusi internasional bukanlah sesuatu yang remeh. Makan bersama telah terbukti secara historis sebagai medium efektif dalam membangun relasi sosial yang erat dan terbuka. Dalam kasus ini, ayam bakakak bukan hanya sekadar menu makan siang, tetapi menjadi sarana untuk menghapus sekat budaya dan mempererat jejaring.
“Orang-orang Korea terbiasa dengan kimchi dan daging bakar, sementara di sini ada nasi liwet dan bakakak. Keduanya sama-sama mencerminkan nilai kebersamaan dalam makan,” ujar Dahnisya K. Sari, associate manager KTR Indonesia, yang juga berperan menjembatani budaya di antara dua bangsa ini.
Bagi Kota Bogor sendiri, momen seperti ini juga menjadi kesempatan untuk menunjukkan citra kota yang ramah, terbuka, dan kaya budaya. Tidak hanya menawarkan potensi kerja sama dalam bidang teknologi dan riset, tetapi juga memperlihatkan sisi humanis yang melekat dalam keseharian masyarakatnya.
“Kami percaya bahwa untuk memahami suatu bangsa, kita tidak hanya perlu membaca data dan statistik. Kita juga harus mencicipi rasa makanannya, merasakan suasananya, dan berbincang dengan masyarakatnya. Di sini kami mendapat semua itu,” kata Woo DongHyeok.
Sambil menyeruput teh tawar hangat, mereka tampak enggan beranjak dari suasana akrab yang terbangun. Tawa dan candaan sederhana mengalir bebas, membuktikan bahwa seringkali—di balik kerja sama internasional dan kontrak teknis—ada ruang-ruang kecil seperti ini yang justru menjadi fondasi paling kuat dari sebuah hubungan antarbangsa.
Warung Bakakak Sampurasun hari itu tidak hanya melayani makanan, tetapi menyajikan rasa Indonesia yang sejati. Dan dari Kota Hujan, kisah ini akan terus mengalir—dari sepiring ayam bakakak yang sederhana, ke dalam ingatan mereka yang mungkin suatu hari akan kembali, untuk sekadar berkata, “saya pernah makan siang di Bogor, dan saya jatuh cinta pada Indonesia.”