Rencana Usia Pensiun PNS 70 Tahun, Efektifkah?

Oleh: Abdul Rahmat Saleh, Direktur Lembaga Analisis Studi dan Kajian Publik (Lanskip).

Di sebuah pagi yang hangat di bulan Juni, saya berbincang dengan Pak Suyatno, seorang aparatur sipil negara yang sudah lebih dari tiga dekade mengabdi di pemerintah daerah. Dengan senyum lelah tapi penuh kebanggaan, ia berkata, “Saya tinggal nunggu dua tahun lagi pensiun, Mas. Sudah cukup, ingin istirahat, main sama cucu.”

Namun, perbincangan kami langsung berubah saat saya menyebutkan wacana pemerintah menaikkan usia pensiun PNS menjadi 70 tahun. Ia terdiam sejenak, lalu menjawab, “Wah, itu bisa dua sisi ya. Buat yang masih kuat, mungkin senang. Tapi buat yang sudah jenuh atau ingin istirahat, itu jadi beban.”

Wacana perpanjangan usia pensiun PNS menjadi 70 tahun memang bukan sekadar isu administratif. Ia menyentuh jantung dinamika birokrasi Indonesia—tentang regenerasi, produktivitas, keadilan sosial, bahkan arah masa depan pelayanan publik kita.

Dalam sejarah birokrasi Indonesia, usia pensiun selalu menjadi titik strategis dalam pengelolaan sumber daya manusia negara. Pada era Orde Baru, usia pensiun ditetapkan pada 56 tahun. Kemudian, seiring waktu dan meningkatnya harapan hidup serta profesionalisasi jabatan, batas itu naik menjadi 58, lalu 60 tahun. Beberapa jabatan fungsional seperti dosen dan peneliti bahkan diperpanjang hingga 65 tahun.

Kini, wacana usia pensiun 70 tahun muncul di tengah masyarakat yang sedang bergulat dengan isu regenerasi dan bonus demografi. Ini bukan sekadar angka. Ia adalah representasi dari ketegangan antara masa lalu dan masa depan birokrasi.

Argumen Rasional: Menghargai Pengalaman, Menjaga Kompetensi

Pihak yang mendukung kebijakan ini biasanya membawa argumen rasional: bahwa pengalaman adalah aset berharga dalam birokrasi. Seorang pejabat yang telah 40 tahun mengabdi tentu memiliki wawasan historis, jejaring sosial, dan ketajaman intuisi dalam mengelola kompleksitas kebijakan publik yang belum tentu dimiliki oleh mereka yang baru lima tahun menjadi PNS.

Apalagi, Indonesia menghadapi tantangan global: digitalisasi, perubahan iklim, geopolitik, hingga transformasi ekonomi. Dalam konteks ini, mempertahankan para profesional senior bisa menjadi bentuk stabilitas di tengah perubahan.

Namun, benarkah pengalaman selalu menjadi jaminan efektivitas?

Kisah di Balik Meja: Ketika Regenerasi Mandek

Di satu kantor pemerintah provinsi, saya berbincang dengan Rina, seorang analis kebijakan berusia 32 tahun. Sudah enam tahun ia bekerja, namun belum juga naik eselon karena posisi atasnya masih diduduki oleh pejabat yang sudah berusia 64 tahun dan masih bugar.

“Kalau usia pensiun dinaikkan jadi 70 tahun, saya mungkin pensiun duluan sebelum jadi kepala bidang,” katanya setengah bercanda.

Inilah titik kritis dari kebijakan ini: regenerasi. Jika pejabat-pejabat senior terus bertahan di jabatan strategis, maka terjadi stagnasi karier. Pegawai muda kehilangan motivasi, dan inovasi birokrasi melambat. Kita bisa kehilangan generasi visioner karena mereka merasa tidak punya ruang untuk tumbuh.

Produktivitas PNS di usia 65 ke atas juga patut dipertanyakan. Secara biologis, tidak semua orang bisa tetap prima secara mental dan fisik di usia senja. Ada risiko kelelahan, penurunan daya ingat, atau kesulitan adaptasi dengan teknologi baru. Belum lagi, biaya kesehatan untuk PNS usia lanjut bisa membebani anggaran negara.

Lebih jauh, jika pegawai senior masih mendominasi, ruang bagi rekrutmen generasi muda akan menyempit. Padahal Indonesia saat ini sedang menikmati bonus demografi: jumlah angkatan kerja muda yang besar dan penuh energi. Jika mereka tak terserap birokrasi, ke mana mereka akan menyalurkan potensi?

Apakah semua jabatan memang harus dibatasi usia pensiunnya sama? Tentu tidak. Kita perlu kebijakan selektif. Jabatan fungsional tertentu—seperti dosen, peneliti, atau perancang undang-undang—mungkin tetap produktif hingga usia 70. Namun untuk jabatan struktural yang membutuhkan kelincahan manajerial dan mobilitas tinggi, usia pensiun tetap sebaiknya tidak terlalu panjang.

Selain itu, bisa dipertimbangkan skema “senior advisor” atau “penasihat ahli” bagi PNS yang sudah pensiun tapi masih dibutuhkan. Mereka bisa tetap berkontribusi tanpa harus menahan laju regenerasi struktural.

Birokrasi bukan sekadar mesin administratif. Ia adalah tulang punggung pelayanan publik. Dan pelayanan yang baik, cepat, dan adaptif menuntut SDM yang segar, semangat, dan inovatif. Menjaga keseimbangan antara pengalaman dan energi muda adalah kunci birokrasi yang sehat.

Wacana menaikkan usia pensiun menjadi 70 tahun seharusnya bukan keputusan politis jangka pendek, melainkan strategi jangka panjang yang berdasarkan data demografis, tren produktivitas, dan kebutuhan organisasi.

Kembali pada Pak Suyatno di awal tulisan. Ia tak pernah menganggap pensiun sebagai akhir pengabdian. “Saya ingin tetap aktif di masjid, di masyarakat, mungkin bantu mengajar anak-anak ngaji. Bukan soal gaji, tapi soal manfaat,” ujarnya.

Mungkin, kebijakan terbaik adalah yang memberi ruang bagi semua: yang tua bisa tetap mengabdi dengan cara berbeda, yang muda bisa bertumbuh, dan birokrasi bisa terus bergerak maju.

Karena pada akhirnya, negara besar bukan hanya dibangun oleh mereka yang lama duduk di kursi kekuasaan, tetapi oleh mereka yang ikhlas memberi ruang bagi generasi penerus.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News