Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Timur Tengah
Ketika Iran melancarkan serangan frontal ke Israel untuk kedua kalinya, dunia terhenyak. Ini bukan lagi hanya tentang respons sesaat terhadap provokasi atau serangan udara ke Teheran. Ini adalah bentuk eskalasi militer terbuka, langsung, dan tanpa tedeng aling-aling—sebuah langkah yang sangat jarang dilakukan Iran dalam puluhan tahun sejarah konflik regionalnya.
Kalau pada serangan pertama publik masih melihatnya sebagai kejutan strategis, maka pada serangan kedua ini, Iran seperti ingin mengirim sinyal lebih keras: “Kami siap perang terbuka bila perlu.”
Serangan frontal pertama Iran ke Israel memang bersejarah: ratusan rudal balistik, jelajah, dan drone melintasi ribuan kilometer, melewati Irak dan Yordania, menghantam sasaran di jantung pertahanan Israel. Meskipun sebagian berhasil dicegat, fakta bahwa Iran melakukannya sendiri, dan secara terbuka, mengguncang strategi konvensional yang selama ini memposisikan Iran sebagai dalang dari “proxy war” melalui Hizbullah, Houthi, atau milisi Syiah Irak.
Kini, untuk kedua kalinya, Iran mengulangi pola yang sama—namun dengan intensitas yang lebih terukur dan teknologi yang lebih presisi. Ini menandakan bahwa Iran mengubah doktrin militernya: dari hanya mengandalkan proksi, menjadi kekuatan negara-bangsa yang siap tampil sebagai aktor utama di medan laga Timur Tengah.
Serangan kedua ini tetap dilakukan dalam koridor yang terukur. Iran jelas tidak ingin memprovokasi perang besar-besaran dengan AS dan NATO. Tetapi mereka ingin menguji batas kesabaran Israel dan sekutunya, serta sekaligus menanamkan doktrin deterrence baru: bahwa serangan terhadap kepentingan Iran (baik militer maupun diplomatik) akan dibalas langsung, bukan melalui tangan orang lain.
Lebih jauh lagi, dua serangan ini adalah tes terhadap sistem pertahanan Israel. Iron Dome, David’s Sling, hingga intervensi sistem THAAD milik Amerika Serikat ternyata tak sempurna. Hal ini menciptakan efek domino: Israel merasa lebih terancam, dan negara-negara Teluk menjadi semakin gamang antara memilih AS-Israel atau mempertimbangkan tawaran kerja sama keamanan dari Beijing-Teheran-Moskow.
Dalam dua dekade terakhir, narasi superioritas militer Israel didukung penuh oleh Amerika Serikat. Tapi dua serangan Iran—yang dilakukan sendiri, frontal, dan sebagian berhasil menembus pertahanan Israel—telah menggoyahkan citra itu. Bukan hanya di dunia Arab, tapi juga di panggung global, banyak pengamat mulai mempertanyakan: apakah kekuatan militer Israel dan koalisinya memang sekuat yang dipromosikan?
Bagi Iran, dua serangan ini adalah cara untuk mengangkat posisi tawar dalam negosiasi internasional, termasuk soal sanksi ekonomi, nuklir, dan pengaruh kawasan. Iran ingin menunjukkan bahwa mereka bukan korban, tapi pemain besar yang harus dihormati.
Ketika sebuah negara berani menyerang musuh utamanya dua kali secara terbuka dalam hitungan bulan—tanpa dukungan resmi dari sekutu regional—itu berarti negara tersebut percaya diri dengan kekuatan militernya, siap menghadapi risiko politik, dan ingin menggambar ulang peta kekuatan kawasan.
Iran belum tentu menang secara militer dalam arti konvensional. Tapi dalam perang simbolik, psikologis, dan geopolitik, dua serangan frontal ke Israel telah membuat Iran tampil sebagai kekuatan yang tak bisa lagi diremehkan. Dan yang paling penting: dunia mulai memandang bahwa konflik Israel bukan lagi hanya soal Palestina atau Hamas, tapi tentang eksistensi kekuatan besar baru bernama Republik Islam Iran.