Solusi Pengangguran di Kota Bogor

Oleh: Abdul Rahmat Saleh, Direktur Lembaga Analisis Studi dan Kajian Publik (Lanskip)

Masalah pengangguran selalu menjadi tantangan yang kompleks bagi kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Bogor. Berdasarkan data terbaru, terdapat sekitar 5.000 pengangguran berstatus sarjana di Kota Bogor. Angka ini belum termasuk lulusan SMA dan SMK yang jumlahnya diyakini jauh lebih besar. Kota Bogor yang tidak memiliki banyak industri berskala besar, apalagi pabrik-pabrik yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, menjadi salah satu faktor utama penyebab tidak terserapnya lulusan pendidikan ke dunia kerja secara optimal.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Kota Bogor tengah menghadapi krisis lapangan kerja yang serius. Apabila tidak ditangani dengan pendekatan yang konkret dan inovatif, pengangguran dapat berujung pada meningkatnya persoalan sosial lainnya, seperti kemiskinan, kriminalitas, dan stagnasi ekonomi lokal.

Kota Bogor dikenal sebagai kota pendidikan, kota wisata, serta kota penyangga ibu kota yang memiliki sektor jasa cukup dominan. Namun, dominasi sektor jasa belum cukup mampu menyerap tenaga kerja lulusan SMA/SMK maupun sarjana secara merata. Industri yang ada di Kota Bogor cenderung berskala kecil-menengah, dengan kebutuhan tenaga kerja yang terbatas dan spesifik.

Sektor pertanian dan kehutanan yang masih eksis di pinggiran kota pun tidak lagi menjadi primadona bagi generasi muda. Sementara itu, sektor formal di pemerintahan dan swasta menyusut karena terbatasnya formasi dan efisiensi yang terus dilakukan.

Di tengah kondisi keterbatasan tersebut, salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan secara serius adalah penempatan kerja migran ke luar negeri, khususnya ke negara-negara yang kekurangan tenaga kerja terampil dan semi-terampil seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau negara-negara Timur Tengah.

Salah satu pintu masuk untuk solusi ini adalah melalui perusahaan resmi penyalur tenaga kerja seperti PT Dwitunggal Jaya Abadi. Perusahaan ini telah berpengalaman mengirimkan tenaga kerja Indonesia ke berbagai negara dengan jaminan legalitas dan perlindungan hukum yang kuat.

Pekerja migran bukan lagi sekadar pembantu rumah tangga atau buruh kasar seperti stigma masa lalu. Saat ini, banyak negara maju membuka kesempatan kerja bagi perawat, pengelola lansia, teknisi, operator pabrik, petugas kebersihan profesional, hingga bidang pertanian modern yang berbasis teknologi. Lulusan SMA/SMK bahkan sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan dapat memanfaatkan peluang ini sebagai batu loncatan untuk memperbaiki ekonomi keluarga sekaligus mengembangkan kompetensi.

Namun, kerja migran bukan solusi instan. Butuh kesiapan mental, fisik, bahasa, dan keahlian teknis. Oleh karena itu, pemerintah Kota Bogor perlu bekerja sama dengan lembaga resmi seperti PT Dwitunggal Jaya Abadi untuk membuka balai pelatihan kerja migran yang memberikan pelatihan bahasa, keterampilan dasar, hingga edukasi hukum dan budaya negara tujuan.

Kesiapan ini penting agar tenaga kerja Indonesia tidak hanya menjadi obyek eksploitasi di negara orang, tetapi mampu menjadi duta kerja yang membawa nama baik bangsa. Selain itu, pekerja migran yang sukses akan menjadi agen pembangunan di daerah asalnya melalui remitansi (kiriman uang) yang mampu menggerakkan ekonomi lokal.

Pemerintah Kota Bogor juga seharusnya tidak abai. Dinas Tenaga Kerja harus aktif melakukan pendataan, pembinaan, dan pendampingan terhadap pengangguran yang potensial untuk dikirim ke luar negeri. Pemkot bisa memberikan subsidi pelatihan, beasiswa kursus bahasa, atau membantu pembiayaan awal bagi mereka yang memiliki potensi tetapi terkendala ekonomi.

Selain itu, perlu kampanye besar-besaran untuk menghapus stigma negatif terhadap kerja di luar negeri, khususnya di kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat. Banyak dari kita masih menganggap kerja di luar negeri adalah “pilihan terakhir”. Padahal di masa sekarang, mobilitas global tenaga kerja adalah bagian dari strategi pembangunan ekonomi lokal dan nasional.

Kota Bogor tengah menghadapi realitas pahit tingginya angka pengangguran lulusan pendidikan menengah dan tinggi. Di tengah keterbatasan industri dan lapangan kerja lokal, solusi konkret yang bisa ditawarkan adalah penempatan kerja migran ke luar negeri melalui jalur legal dan profesional seperti yang ditawarkan oleh PT Dwitunggal Jaya Abadi.

Daripada membiarkan pengangguran bertahun-tahun tanpa arah, lebih baik kita siapkan mereka untuk bersaing di luar negeri dengan pelatihan yang memadai, perlindungan hukum, dan mentalitas kerja yang unggul. Ini bukan hanya tentang mengurangi angka pengangguran, tetapi tentang membangun manusia Indonesia yang mandiri, produktif, dan global.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News