Oleh: Firman Tendry Masengi, SH.
Indonesia tampak aman dan teratur. Pemilu sukses digelar. Proyek-proyek besar berjalan. Presiden tampil sederhana dan tegas. Seolah semua berada di jalur yang benar, baik-baik saja..
Di balik semua itu, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan: apakah rakyat sungguh menjadi pusat kekuasaan, atau hanya latar panggung untuk kekuasaan bermain sendiri?
Kehancuran ekologis akibat kerakusan pertambangan atas nama investasi oligarkhi dibalut lapangan kerja baru faktanya jutaan buruh alami PHK plus tragedi pencari kerja di Bekasi. Perkebunan sawit dan food estate sebagai tipu daya kesejahteraan namun rakyat dijerat pajak yang menggila.
Untuk menjawabnya, mari kita lirik pemikiran dua filsuf besar yang jarang dibahas dalam politik Indonesia: Achille Mbembe dan Naomi Klein. Mbembe berbicara tentang necropolitics, politik yang menentukan siapa yang layak hidup dan siapa yang bisa dikorbankan. Klein memperkenalkan shock doctrine, strategi kekuasaan yang memanfaatkan krisis untuk menyingkirkan hak-hak publik. Keduanya menawarkan cara pandang yang sangat relevan terhadap kekuasaan hari ini—khususnya dalam konteks pemerintahan Jokowi dan Prabowo.
Pembangunan Minus Harapan
Selama dua periode, Jokowi muncul sebagai presiden infrastruktur –media buzzer. jalan tol, bandara, pelabuhan, hingga ibu kota baru dibangun atas nama kemajuan. Namun, siapa yang harus minggir demi semua itu?
masyarakat adat yang digusur dan tercerabut dari sejarah dan ekosistemnya. Nelayan yang kehilangan laut. Petani yang kehilangan sawah.
Suara-suara kritis yang dibungkam, dipolisikan, atau dijadikan musuh negara.
Inilah yang disebut Mbembe sebagai necropolitics: politik yang tidak selalu membunuh secara fisik, tapi membiarkan sebagian warga hidup dalam keterasingan, kemiskinan, dan penghapusan sosial. Mereka hidup, tapi tak diberi ruang untuk menentukan hidupnya sendiri.
Teater Populisme
Jokowi sering disebut populis. Sementara Prabowo dengan gaya yang sama berkedok sosialisme, populis dekat dengan rakyat, bicara sederhana, tampil dramatik. Prabowo juga mengusung narasi serupa: kuat, nasionalis, dan anti elite. Tapi kita harus jujur—populisme yang tidak dibarengi partisipasi rakyat hanyalah teater.
Rakyat digunakan sebagai simbol kampanye, bukan mitra pengambilan keputusan. Aspirasi mereka diabaikan dalam perumusan undang-undang. Kritik dibalas dengan fitnah dan tudingan radikal. Protes dilabeli sebagai gangguan stabilitas.
Inilah ironi demokrasi populis: rakyat diberi suara saat pemilu, tapi dibungkam setelahnya.
Krisis Sebagai Perampokan Elite
Naomi Klein menyebut strategi ini sebagai shock doctrine. Saat rakyat sibuk menghadapi krisis—pandemi, bencana, inflasi—elite justru mendorong kebijakan besar yang merugikan rakyat. Di Indonesia, pola ini sudah berulang kali terjadi:
UU Cipta Kerja disahkan di tengah pandemi mengabaikan kritik publik.
Revisi regulasi sosial dan digital dikawal dengan ketakutan atas hoaks dan moralitas.
Krisis bukan dikelola untuk rakyat, tapi digunakan untuk mengendalikan rakyat. Dan rakyat sering kali tidak sadar, karena semuanya dibungkus dalam bahasa nasionalisme dan pembangunan.
Ibu Kota Baru: Tiga Masalah dalam Satu Proyek
IKN (Ibu Kota Negara) di Kalimantan adalah contoh sempurna dari praktik necropolitics, populisme simbolik, dan shock doctrine.
Proyek Ibu Kota Negara didorong dengan narasi “Jakarta darurat”.
Pertama, proyek ini mengorbankan masyarakat adat, lingkungan hidup, dan ruang hidup komunitas lokal. Kedua, narasinya dibungkus seolah demi rakyat. Ketiga, proyek ini dikebut saat rakyat masih bergulat dengan dampak ekonomi pascapandemi.
Siapa yang diuntungkan? Tentu para pemilik modal dan elite kekuasaan.
Siapa yang dikorbankan? Rakyat yang suaranya tidak cukup nyaring untuk didengar.
Demokrasi Zombie
Indonesia tidak sedang dipimpin oleh seorang diktator. Tapi kekuasaan hari ini telah berkembang menjadi bentuk yang lebih halus namun lebih dalam pengaruhnya dan sama menakutkan. Demokrasi dengan seribu nyawa namun menjijikkan.
Kita punya demokrasi prosedural, tapi rakyat hanya jadi objek kebijakan, bukan subjek politik. Kita punya kebebasan pers, tapi jurnalis diintimidasi. Kita punya parlemen, tapi isinya lebih sibuk mengamankan proyek ketimbang memperjuangkan rakyat.
Seperti yang ditulis Mbembe:
“Negara postkolonial kerap mewarisi kebiasaan kolonial—mengatur, bukan melayani; mengontrol, bukan mendengarkan.”
Penjajahan beralih ke bangsa sendiri.
Rakyat akhirnya frustasi dan menyerukan #kaburajadulu
#Indonesiagelap.
Firman Tendry Masengi, SH.
Advokat/Aktivis ProDem – 98/Penulis.