Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik dan Sosial
Setiap tahun, pelaksanaan ibadah haji menghadapi persoalan klasik: pelayanan yang tidak maksimal, jamaah lansia yang terlantar, petugas yang tidak siaga, hingga koordinasi yang kacau balau. Anehnya, semua ini terjadi meskipun Indonesia mengirim ribuan petugas haji setiap tahunnya, terdiri dari berbagai unsur: Kementerian Agama, Kesehatan, keamanan, serta pembimbing ibadah. Mengapa pelayanan masih kacau?
Ada satu isu krusial yang jarang dibahas secara terbuka namun kerap menjadi gunjingan di kalangan jamaah dan pengamat: banyak petugas haji yang berangkat bukan semata-mata untuk bertugas, tetapi untuk menunaikan ibadah haji itu sendiri. Inilah akar dari problem struktural yang harus dibedah secara jujur dan ilmiah. Sebab, ketika petugas bermental “sambil menyelam minum air”, pelayanan akan selalu jadi nomor dua. Mereka menjadi jamaah, bukan pelayan jamaah.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran: 97)
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang istitha’ah — mampu secara fisik, mental, dan finansial. Maka, jika seseorang tidak berniat menunaikan ibadah haji tetapi malah difasilitasi negara hanya karena posisinya sebagai petugas, lalu ia menyelundupkan niat untuk menunaikan haji, ini menjadi masalah moral sekaligus syar’i. Bukankah ini bertentangan dengan semangat istitha’ah?
Ibadah haji adalah puncak dari totalitas ibadah fisik dan spiritual. Selama lebih dari 40 hari, jamaah harus melaksanakan serangkaian rukun dan wajib haji yang membutuhkan fokus penuh: wukuf, tawaf, sa’i, mabit, melempar jumrah. Pertanyaannya: mungkinkah seseorang bisa menjalankan ibadah haji secara sempurna sekaligus memberikan pelayanan maksimal kepada jamaah lain?
Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad, Thabrani)
Hadis ini menjadi prinsip dasar mengapa petugas haji seharusnya fokus dalam melayani jamaah, bukan justru menyaingi jamaah. Petugas adalah khadim (pelayan), bukan jamaah. Dalam fikih Islam, amal khidmah (pelayanan) yang ikhlas bahkan bisa lebih tinggi nilainya daripada amal mahdhah (ritual individu), bila ia membantu orang lain menjalankan kewajiban syar’inya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menyebutkan: “Orang yang mengurusi urusan orang lain dalam kebaikan, bila niatnya ikhlas, maka kedudukannya lebih utama daripada yang hanya beribadah untuk dirinya sendiri.” (Ihya’, Juz 3)
Ini berarti, melayani jamaah haji — terutama lansia atau yang memiliki keterbatasan — adalah ibadah yang sangat agung, asalkan dilakukan secara fokus dan tidak dibelokkan menjadi ibadah pribadi. Justru keikhlasan itulah yang menjadikan amal tersebut murni karena Allah.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ juga menjelaskan bahwa syarat sah ibadah adalah niat yang lurus dan fokus pelaksanaan. Maka, ibadah haji sambil bertugas (dan tugas sambil berhaji) berpotensi kehilangan ruh dari kedua sisi: ibadah tidak sempurna, tugas tidak maksimal.
Dalam sistem negara modern, petugas haji diberangkatkan dan dibayar dari anggaran negara (baik APBN maupun BPIH). Maka, keberangkatan mereka mengandung amanah publik, bukan kepentingan personal. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)
Ketika amanah ini disalahgunakan — misalnya, petugas meninggalkan posnya karena sedang tawaf atau mabit demi menyelesaikan ritual pribadinya — maka ia telah mengkhianati amanah. Ini bukan perkara sepele, tetapi dosa sosial dan bisa berdampak sistemik.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI, harus berani membuat regulasi yang tegas:
-
Petugas haji dilarang menunaikan haji selama masa bertugas.
-
Petugas yang ketahuan melanggar bisa dikenai sanksi administrasi dan dicoret dari daftar.
-
Jika petugas ingin berhaji, mereka harus mendaftar secara resmi sebagai jamaah reguler atau khusus.
Langkah ini bukan untuk menghalangi orang berhaji, tetapi untuk menjaga profesionalisme dan memastikan pelayanan kepada jamaah berjalan optimal.
Agama Islam menekankan kejujuran, fokus dalam amanah, dan pengkhidmatan terhadap sesama. Seorang petugas haji yang benar-benar menjalankan tugasnya secara tulus tanpa mencampurkan dengan kepentingan pribadi, lebih dekat kepada makna spiritual ibadah itu sendiri.
Maka, hendaknya pemerintah dan masyarakat sama-sama menyadari: Petugas haji tidak perlu berhaji saat bertugas. Mereka cukup mengikhlaskan diri untuk melayani, dan insya Allah, pahala khidmat itu akan mengangkat derajat mereka setara — bahkan lebih — daripada haji mabrur.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News