Direktur Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, melontarkan kritik tajam terhadap tindakan negara dalam kasus Bank Centris Internasional (BCI). Ia menyebut negara telah bertindak sewenang-wenang dalam menyita aset pribadi Andri Tedjadharma, padahal fakta di persidangan menunjukkan bahwa dana BLBI justru masuk ke rekening ‘bank’ lain, bukan BCI.
“Ini pemaksaan kehendak yang brutal atas nama negara. Fakta di pengadilan jelas: dana Rp 490 miliar yang seharusnya masuk ke rekening BCI, malah dialihkan ke rekening Centris International Bank (CIB). Tapi anehnya, yang disita hartanya adalah pemilik BCI,” ujar Uchok dalam wawancara di Jakarta, Jumat (6/6).
Seperti disampaikan saksi fakta di sidang MK, Rabu (28/5) pekan lalu, tercatat bahwa pencairan dana oleh Bank Indonesia dilakukan sebelum adanya perjanjian resmi antara BI dan BCI, dan dana tersebut dialirkan ke rekening yang bukan milik BCI:
• 6 Oktober 1997: Rp 239 miliar dicairkan BI ke rekening CIB, padahal BCI baru menandatangani Akta No. 75 pada 17 Oktober 1997.
• 12 November 1997: Rp 120 miliar kembali masuk ke rekening CIB.
• 11 Desember 1997: Rp 159 miliar lagi-lagi masuk ke rekening CIB.
• 31 Desember 1997: Disebutkan BCI menerima SBPUK senilai Rp 490 miliar, namun mutasi menunjukkan dana itu masuk ke rekening CIB.
“Kalau uangnya masuk ke CIB, kenapa Andri Tedjadharma yang jadi sasaran penagihan? Ini pembohongan publik dan pengaburan tanggung jawab anggaran negara,” lanjut Uchok.
Uchok sepakat dengan pernyataan saksi ahli, Dr Maruarar, bahwa audit BPK yang dijadikan dasar BPPN menuduh BCI dan sebagai penerima dana BLBI, ternyata audit BPK untuk rekening CIB No. 523.551.000, bukan audit untuk BCI dengan rekening No. 523.551.0016 milik Andri, adalah dokumen otentik yang harus diusut dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. “Mudah diusut karena jelas siapa saja yang menjabat waktu itu,” tuturnya.
Uchok juga menyebut bahwa penerbitan Surat Paksa dan SK Piutang Negara senilai Rp 4,5 triliun merupakan bentuk manipulasi administratif karena dalam amar Salinan Putusan MA No. 1688 K/Pdt/2003, nilai utangnya hanya Rp 812 miliar—dan itu pun salinan yang tidak terdaftar di MA.
“Ini pelanggaran hak asasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran akuntabilitas anggaran. Satgas BLBI, PUPN, dan KPKNL harus bertanggung jawab. Kenapa bisa angka membengkak lima kali lipat tanpa amar pengadilan? Ini ngawur!” tegasnya.
Uchok mendesak agar BPK segera melakukan audit investigatif, dan Komisi Yudisial serta KPK turun tangan menyelidiki keabsahan tindakan negara ini.
“Negara tidak boleh semena-mena. Kalau rakyat tidak pernah tandatangan utang, dan uangnya tidak pernah diterima, kok tiba-tiba disuruh bayar dan rumahnya disita? Ini bukan penegakan hukum, ini perampasan,” pungkas Uchok.