Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik dan Sosial
Suatu pagi yang cerah di awal bulan Dzulhijjah, saya berkunjung ke sebuah desa di lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah. Suasana desa begitu hidup. Di bawah rerimbunan pohon bambu dan suara gemericik sungai kecil, saya melihat seorang peternak tua sedang memberi makan kambing-kambingnya. Namanya Pak Sarjiman, 63 tahun. Dengan tangan yang kasar akibat kerja keras dan senyum ramah yang tulus, ia menyambut saya sambil berkata, “Kurban, Pak… ini saat paling saya tunggu tiap tahun. Kalau tak ada kurban, mungkin saya sudah berhenti beternak.”
Ucapan itu membuat saya terdiam. Bagi banyak orang, ibadah kurban adalah rutinitas tahunan: memilih hewan, menyembelih, berbagi. Namun bagi para peternak seperti Pak Sarjiman, kurban adalah nadi kehidupan, puncak dari harapan, dan kadang satu-satunya momen merasakan panen hasil kerja setahun penuh.
Ibadah kurban memang dimulai dari keteladanan Nabi Ibrahim AS, tapi di masa kini, ia juga membuka peluang besar dalam perekonomian umat. Sayangnya, potensi ini masih belum digarap maksimal. Banyak peternak seperti Pak Sarjiman yang bekerja tanpa perlindungan, tanpa akses pembiayaan, bahkan tanpa jaminan pasar yang adil.
Padahal, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Setiap tahun, jutaan hewan disembelih dalam rangka kurban: sapi, kambing, domba, hingga kerbau. Angka ini bukan hanya mencerminkan ketakwaan umat, tetapi juga perputaran uang yang sangat besar—puluhan hingga ratusan triliun rupiah setiap musim Idul Adha.
Namun, mengapa potensi ekonomi sebesar itu belum menjadi tulang punggung kesejahteraan peternak?
Ada satu ironi yang menyakitkan: sebagian besar hewan kurban yang kita sembelih di kota-kota besar sebenarnya bukan berasal dari peternak lokal, tetapi dari luar negeri, terutama Australia.
Sementara itu, peternak di pelosok negeri masih beternak dengan cara konvensional. Mereka tidak memiliki akses teknologi, tidak mendapat pelatihan, dan sangat bergantung pada tengkulak yang memainkan harga semena-mena. Harga hewan naik menjelang Idul Adha, tetapi keuntungan terbesar sering bukan di tangan peternak, melainkan di tangan pengepul dan distributor.
Kurban menjadi “musiman”, bukan “berkelanjutan”. Seolah-olah ia hanya ritual ibadah, bukan ekosistem ekonomi yang seharusnya hidup 365 hari setahun.
Momentum kurban seharusnya dimanfaatkan sebagai pilar utama dalam kedaulatan pangan, terutama protein hewani. Terlebih lagi, pemerintah kini sedang menggencarkan program makan bergizi gratis di sekolah. Ini adalah peluang emas: menghubungkan antara kebutuhan daging harian anak-anak Indonesia dengan potensi produksi peternak lokal.
Bayangkan jika pemerintah menggandeng kelompok peternak seperti milik Pak Sarjiman. Kurban bukan lagi hanya seremonial tahunan, tetapi menjadi sistem terintegrasi: dari pembibitan, penggemukan, distribusi daging, hingga pengolahan hasil ternak. Ini akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan daya beli masyarakat desa, dan tentu saja menguatkan ketahanan pangan nasional.
Lebih jauh lagi, lembaga-lembaga zakat, masjid, dan ormas Islam dapat berperan sebagai jembatan penghubung. Mereka bisa mendorong skema kurban produktif—yakni, hewan dibeli dari peternak kecil yang diberdayakan melalui dana sosial, lalu dagingnya disalurkan kepada mustahik secara terukur dan berkelanjutan.
Langkah yang dibutuhkan saat ini adalah membangun ekosistem kurban berbasis umat. Peternak diberdayakan dari hulu. Mereka diberikan pelatihan pakan, kandang, hingga manajemen ternak. Di sisi hilir, dibentuk koperasi peternak yang bisa bernegosiasi harga langsung ke pembeli, termasuk lembaga zakat dan pemerintah.
Teknologi juga bisa diintegrasikan. Aplikasi pencatatan hewan, pelacakan kesehatan ternak, hingga marketplace khusus kurban bisa menjadi alat bantu peternak kecil menembus pasar kota tanpa harus tergantung pada tengkulak.
Lebih penting lagi, kita perlu mengubah cara pandang: kurban bukan sekadar “pembelian hewan”, tapi “investasi sosial” jangka panjang. Umat Islam perlu diajak menyadari bahwa setiap kambing yang dibeli dari peternak lokal bukan hanya ibadah, tetapi juga pemberdayaan.
Sudah saatnya kita menempatkan ibadah kurban bukan hanya di ruang spiritual, tapi juga di ruang sosial dan ekonomi. Ia adalah titik temu antara langit dan bumi: antara kesalehan ritual dan keadilan sosial.
Jika dilakukan dengan visi jangka panjang, kurban bisa menjadi jalan baru untuk kemandirian umat—bukan hanya di masjid, tetapi juga di kandang, di ladang, dan di meja makan anak-anak Indonesia.