Warung Kopi Pengakuan Dosa

Oleh: Firman Tendry Masengi
Satire Politik

Gurat senja menggantung jingga di shelter akhirat, mirip terminal dengan tujuan masing-masing: antara surga yang masih digembok dan neraka yang kelebihan kapasitas. Di antara keduanya, ada sebuah angkringan lesehan—tempat para pecinta kopi bercengkerama. Termasuk mereka yang namanya sangat populer dalam sejarah.

Pengakuan Dosa di Warung Markobar

Sore itu, warung dipenuhi asap rokok dan asap penyesalan. Tiga tokoh duduk melingkar. Wajah mereka akrab di buku sejarah, tapi kini mereka seperti pensiunan pejabat yang gagal membuka usaha “palugada”.

Soekarno duduk mengenakan jas safari dan peci miring. Gaya masih karismatik, meski orasinya kini hanya didengar anak muda yang tak paham sejarah. Di sampingnya, Kartosuwiryo berjubah putih, mata sayu, sibuk merapikan surban. Di ujung lain, Aidit dengan jaket partai, senyum kecutnya seperti tahu semua rapat Politbiro hanya jadi catatan sia-sia.

Soekarno:
“Kalian tahu tidak? Kalau dulu aku serius buka koperasi simpan pinjam, mungkin bangsa ini tak perlu rebutan proyek tambang seperti rebutan jadi pengurus ormas.”

Kartosuwiryo:
“Aku juga. Seandainya aku dirikan pesantren kopi, bukan Negara Islam. Keren kan? Ngaji sambil ngopi, jihad tanpa melukai.”

Aidit:
“Sedangkan aku… terlalu percaya pada Marxisme. Kini, tiap ada demo, aku malah dituduh bangkit. Aku jadi mitos, tak pernah jadi manusia.”

Soekarno:
“Kalian ini dulu sumber pusingku. Yang satu ingin negara agama, yang satu negara partai. Aku harus netralisir kalian sambil menulis pidato.”

Kartosuwiryo:
“Kau juga tak tanpa dosa, Bung. Kau biarkan semua berjalan asal bisa teriak: ‘Revolusi belum selesai!’”

Aidit:
“Aku kira revolusi bisa dituntaskan lewat rapat kader dan petani. Nyatanya petani dibabat, kader ditangkap, partai disilet dari sejarah.”

Dari balik kabut, muncul sosok berkacamata bening, senyum beku, safari rapi, beraroma minyak kayu putih: Pak Harto.

Pak Harto:
“Lho, lho, ini ngumpul-ngumpul toh? Daripada demo terus, mending bikin koperasi warung kopi begini, kan?”

Soekarno:
“Hahaha! Harto… datang-datang langsung bikin suasana kayak rapat kabinet.”

Pak Harto:
“Yo ngono. Tapi aku datang juga bukan tanpa dosa. Banyak yang kubungkam. Tapi bagaimana lagi, daripada rakyat ribut terus, mending dikasih tayangan wayang seminggu penuh. Aku juga buka forum curhat: Kelompencapir.”

Aidit:
“Kamu bikinkan aku upacara tiap 1 Oktober selama tiga dekade. Meski aku hilang tanpa pamitan. Setidaknya, beri aku waktu bertemu keluarga. Aku sempat menjenguk putramu, tapi kau larang aku bertemu keluargaku.”

Pak Harto:
“Yo maaf. Tapi kamu juga bikin negara seperti kompetisi rebutan slogan. Kaum buruh bersatu, tapi ekonomi bubar.”

Kartosuwiryo:
“Pak Harto, jujur. Kau juga yang hancurkan aku, kan?”

Pak Harto:
“Lha iya. Daripada kamu bikin negara sendiri di hutan, mending hutannya kita kasih ke investor sawit, to?”

Soekarno:
“Haha! Kau memang jago jual aset.”

Pak Harto:
“Tapi lucunya sekarang, anak-anak zaman now lebih edan. Presiden sekarang punya menantu jadi Gubernur, anak jadi Wapres, ipar ngurus tambang, cucu mungkin sebentar lagi bikin partai. Saat aku berkuasa, aku tak segila itu.”

Aidit:
“Kaderisasi ala keluarga. Revolusi DNA.”

Kartosuwiryo:
“Khilafah rumah tangga!”

Soekarno:
“Dulu kita dituduh gila kekuasaan. Sekarang mereka benar-benar gila kuasa. Dibilang merakyat, padahal pengkhianat.”

Pak Harto:
“Daripada rakyat lapar, mending dibikin lupa. Dulu aku suruh bikin sinetron banyak-banyak. Sekarang cukup buzzer dan TikTok.”

Mereka semua tertawa. Tertawa getir.

Soekarno:
“Rakyat kita hebat. Saking hebatnya, meski tiap zaman dijajah elit berbeda, mereka tetap bertahan. Tapi juga tetap diam.”

Aidit:
“Dulu aku bawa ideologi. Sekarang, ideologi yang dibawa: jangan ribut, nanti dianggap makar.”

Kartosuwiryo:
“Aku kira aku gagal. Tapi ternyata, kegagalan adalah warisan nasional.”

Pak Harto:
“Yo wis. Kita semua pernah salah. Sekarang negara ini dikasih ke generasi baru—yang meniru gaya kita, tapi lebih licin.”

Soekarno:
“Lucu ya. Dulu aku diturunkan karena dianggap terlalu kuat. Sekarang, yang kuat bukan presidennya, tapi keluarganya.”

Aidit:
“Kalau begitu, lebih baik kita reinkarnasi jadi rakyat. Biar tahu rasanya disuruh diam sambil ditindas.”

Pak Harto:
“Lha, daripada hidup lagi di republik kacau, mending ngopi terus di sini. Aman, tenang, dan tak ada buzzer.”

Semua tertawa lagi. Di luar warung, cakrawala perlahan menghitam. Dan dari kejauhan, suara rakyat masih menggema:

“Kami mati dalam kemerdekaan para bandit konstitusi?”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga

News Feed.