Ini Dia Rahasia Sukses Storytelling dalam Fundraising Kurban

Saat bulan Dzulhijjah tiba, ajakan berkurban menggema di berbagai platform. Namun di tengah banjir informasi dan promosi, bagaimana caranya membuat pesan kurban benar-benar menyentuh hati dan mendorong donatur? Jawabannya: storytelling.

Inisiatif Zakat Indonesia (IZI), salah satu lembaga amil zakat nasional, mengandalkan seni bercerita untuk menjembatani emosi antara donatur dan penerima manfaat. Menurut Seprian Dwi K, Manager Marketing Communication IZI, storytelling adalah salah satu teknik paling efektif dalam kampanye fundraising kurban. “Storytelling tidak harus selalu dalam bentuk tulisan. Bisa dalam bentuk verbal, video, atau presentasi. Intinya adalah bagaimana kita menyampaikan pesan dengan narasi yang menggugah,” ujarnya dalam acara Expert Talks “Kiat Sukses Menjalankan Fundrasing Qurban dengan Metode Storytelling” yang diselenggarakan Akademizi, Rabu (21/5/2025).

Seprian menegaskan bahwa storytelling bukan hal baru. Dalam Al-Qur’an sendiri, banyak pesan moral dan spiritual yang disampaikan melalui kisah—mulai dari keluarga Nabi Ibrahim, ujian yang dialami para nabi, hingga kepemimpinan Nabi Sulaiman yang dikaruniai tahta. Cerita-cerita ini tidak hanya mendidik, tapi juga menggugah emosi dan mendorong perubahan sikap.

“Cerita itu menghubungkan kita dengan tokoh dan nilai-nilai yang ingin disampaikan. Bahkan di TikTok, banyak konten kreator yang viral karena berhasil membalut pesan dalam cerita yang kuat,” kata Seprian.

Contoh lain, katanya, bisa ditemukan dalam iklan asuransi, perbankan, bahkan kisah-kisah pengemudi ojek online yang menginspirasi. Dalam semua itu, storytelling digunakan untuk satu tujuan utama: menyentuh hati.

Salah satu kesalahan umum dalam praktik storytelling adalah membuat narasi yang terlalu umum dan tidak mempertimbangkan siapa pendengar atau pembacanya. Padahal, kekuatan sebuah cerita tidak hanya terletak pada isi dan alurnya, tapi juga pada kemampuannya untuk beresonansi secara personal dengan audiens.

Seprian menekankan bahwa memahami karakteristik audiens adalah fondasi utama. Misalnya, jika kampanye fundraising ditujukan kepada generasi milenial atau Gen Z, maka gaya bahasa, pilihan tokoh, hingga format penyampaian cerita harus disesuaikan dengan kebiasaan konsumsi informasi mereka—yang cenderung cepat, visual, dan relatable. Cerita tentang perjuangan seorang ibu muda yang ingin memberikan gizi terbaik untuk anaknya lewat daging kurban, misalnya, akan lebih menggugah mereka dibanding kisah formal yang kaku.

Namun, jika target audiensnya adalah para donatur senior yang sudah mapan secara ekonomi dan terbiasa dengan pendekatan keagamaan klasik, maka nuansa cerita yang lebih sarat nilai spiritual, keikhlasan, dan keberkahan akan lebih tepat. Dalam hal ini, cerita bisa dikaitkan dengan nilai-nilai keislaman yang kuat, seperti keteladanan Nabi Ibrahim AS dan makna berkurban sebagai bentuk pengabdian tertinggi kepada Allah.

Selain itu, konteks geografis dan budaya lokal juga penting. Donatur di perkotaan besar mungkin akan lebih tersentuh oleh cerita penerima manfaat di daerah tertinggal, yang menunjukkan ketimpangan sosial yang nyata. Sebaliknya, donatur di pedesaan bisa jadi lebih terhubung dengan cerita yang dekat dengan realitas hidup mereka sendiri—misalnya petani kecil, buruh tani, atau guru honorer yang saban tahun hanya bisa berdoa agar tahun ini bisa ikut mencicipi daging kurban.

Bahkan dalam format digital, relevansi tetap menjadi kunci. Di media sosial seperti Instagram atau TikTok, cerita bisa dibungkus dalam format video singkat dengan subtitle, musik latar yang tepat, dan ekspresi visual yang mampu menarik empati dalam waktu kurang dari satu menit. Tapi konten seperti ini tetap harus menyampaikan nilai yang sejalan dengan kultur dan aspirasi audiens.

“Jika kita bisa membuat audiens berkata dalam hati, ‘Cerita ini seperti berbicara langsung pada saya’, maka di situlah kekuatan storytelling benar-benar bekerja,” ungkap Seprian.

“Kami banyak melakukan storytelling bersama donatur. Ada yang kami kemas dalam bentuk tulisan, ada juga yang dalam video testimoni atau presentasi visual,” kata Seprian.

Banyak konten kreator konten menyebarkan cerita-cerita inspiratif di media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini menjadi medan baru dalam dakwah sosial dan fundraising. Cerita yang dikemas dalam video pendek dengan musik emosional sering kali lebih efektif dibandingkan poster statis. “Jangan sampai donatur bosan. Mereka ingin tahu ke mana dan kepada siapa kurban mereka disalurkan. Cerita menjadi medium untuk menjawab pertanyaan itu secara halus tapi kuat,” tambahnya.

Dalam era digital yang serba cepat, perhatian publik menjadi komoditas langka. Di tengah gempuran informasi, hanya cerita yang menyentuh hati yang bisa bertahan dan memengaruhi tindakan. Di sinilah peran penting storytelling dalam program kurban, bukan hanya sebagai strategi komunikasi, tetapi sebagai jembatan antara niat baik dan realisasi kebaikan.

Dengan pendekatan ini, lembaga hanya menyalurkan hewan kurban, tetapi juga menyebarkan semangat solidaritas, kepedulian, dan empati melalui setiap cerita yang mereka bawa kepada para donatur.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News