Pengamat: Polemik Sekda Jakarta Perlu Diperjelas, KPK Diminta Buka Suara

Awan gelap tengah menggantung di langit birokrasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Posisi strategis Sekretaris Daerah (Sekda) DKI yang selama ini dijabat oleh Drs. H. Marullah Matali, M.Ag, mendadak menjadi pusat polemik. Isu yang mencuat tak hanya soal pergantian dan mutasi jabatan, namun juga menyerempet ke ranah hukum, ketika muncul kabar adanya laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret nama Marullah.

Namun belakangan, sosok yang sempat disebut sebagai pelapor ke KPK, inisial WH, secara terbuka membantah telah membuat laporan tersebut. WH bahkan telah mengambil langkah hukum dengan melaporkan dugaan pencemaran nama baik ke Polres Jakarta Pusat, sekaligus mencabut laporan yang tidak pernah ia buat. Situasi ini tak hanya menimbulkan kegaduhan, namun juga memunculkan ketegangan dalam internal birokrasi DKI Jakarta.

Kondisi Birokrasi Tak Kondusif

Amir Hamzah, seorang pengamat kebijakan publik, menyebut bahwa polemik ini sudah melebar jauh dan berpotensi mengganggu stabilitas tata kelola pemerintahan daerah. Ia menilai situasi ini sudah sangat kompleks dan membutuhkan perhatian langsung dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung.

“Masalah ini telah menjalar dan menciptakan ketidaknyamanan di internal birokrasi. Rasa saling curiga mulai tumbuh, padahal hal itu sangat berbahaya bagi efektivitas kerja pemerintahan,” ujar Amir, Selasa (20/5/2025).

Amir menekankan pentingnya peran KPK untuk memberikan klarifikasi atas keberadaan laporan yang dimaksud. “Kalau memang laporan itu benar ada, maka seharusnya KPK tahu siapa pelapornya. WH sudah menyatakan tidak melapor, dan sampai hari ini belum diketahui siapa yang sebenarnya mengajukan laporan tersebut. Ini menjadi penting untuk dibuka agar tidak menjadi fitnah yang berkembang liar,” tegas Amir.

Ia juga menambahkan bahwa apabila laporan itu memang berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN), apalagi yang memiliki jabatan strategis, maka tidak ada salahnya bila KPK menyampaikan kepada Gubernur agar tidak terjadi kegaduhan di lingkungan birokrasi.

Mutasi Eselon II & III yang Menyisakan Tanda Tanya

Di sisi lain, Amir juga menyoroti langkah mutasi jabatan yang baru saja dilakukan Gubernur Pramono terhadap pejabat eselon II dan III. Termasuk penetapan sejumlah Wali Kota yang menurutnya menyisakan sejumlah pertanyaan. Ia menilai ada bias dalam proses pengambilan keputusan, yang mengindikasikan ketidakseimbangan antara penilaian objektif dan kepentingan tertentu.

“Informasi yang kami dapat, ada salah satu ASN eselon II yang sebelumnya digadang-gadang akan menduduki posisi Wali Kota, namun akhirnya gagal. Ini menimbulkan spekulasi dan keresahan di antara para pejabat, karena dianggap tidak jelas parameter dan mekanisme seleksinya,” ujarnya.

Situasi seperti ini, menurut Amir, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Gubernur sebagai pemegang kendali tertinggi dalam manajemen ASN di wilayahnya, harus menjaga integritas dan transparansi proses mutasi serta promosi jabatan, apalagi menjelang momen krusial pemilihan Sekda DKI yang baru.

Menanti Panitia Seleksi Sekda DKI

Sekda DKI saat ini, Marullah Matali, diketahui akan memasuki masa pensiun per 1 Desember 2025. Lahir pada 27 November 1965, Marullah adalah birokrat senior yang telah mengabdi dalam berbagai posisi strategis di lingkungan Pemprov DKI.

Dengan tenggat waktu yang kian mendekat, Amir menyarankan agar Gubernur segera membentuk Panitia Seleksi (Pansel) Sekda DKI, paling lambat pada bulan September 2025. “Kita mengharapkan agar pengisian jabatan Sekda tidak mengalami kekosongan. Prosesnya harus dilakukan secara transparan dan terbuka, agar publik bisa mengawasi dan tidak ada kesan bahwa kursi Sekda hanya untuk kalangan tertentu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Amir menegaskan bahwa jabatan Sekda bukan sekadar posisi administratif biasa. Ia adalah motor utama dalam penggerak mesin birokrasi daerah. Karena itu, siapa pun yang akan menduduki posisi tersebut nantinya, haruslah sosok yang kompeten, berpengalaman, dan memiliki integritas tinggi.

“Paling lambat 1 Desember 2025, bersamaan dengan pensiunnya Pak Marullah, kita sudah harus memiliki Sekda baru yang definitif. Tidak boleh ada kekosongan atau pelaksana tugas yang berkepanjangan,” pungkasnya.

Kasus ini menunjukkan bagaimana dinamika politik birokrasi di ibu kota negara tidak pernah benar-benar sepi dari intrik. Saat Sekda menjadi posisi yang diperebutkan, maka isu, fitnah, bahkan laporan ke lembaga hukum pun bisa menjadi alat yang digunakan. Keterbukaan informasi, ketegasan pimpinan daerah, dan netralitas lembaga penegak hukum menjadi krusial agar tata kelola pemerintahan tetap berjalan di jalur profesional.

Kini, semua mata tertuju pada dua lembaga: KPK, untuk membuka siapa pelapor sebenarnya; dan Pemprov DKI di bawah kendali Pramono Anung, untuk menjaga agar transisi Sekda berjalan mulus tanpa mencederai etika birokrasi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News