Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik, Kader Muhammadiyah Kudus
Sudah 27 tahun sejak gerakan Reformasi 1998 mengguncang Indonesia dan menumbangkan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun. Reformasi dimotori oleh mahasiswa dan aktivis, dengan tujuan mulia: menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, serta menegakkan keadilan sosial.
Namun, apakah Reformasi benar-benar membawa perubahan yang diharapkan? Ataukah justru mengalami kemunduran seiring perjalanan waktu?
Tidak dapat dipungkiri, Reformasi 1998 menghasilkan sejumlah perubahan mendasar. Salah satu capaian terpenting adalah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang memperkuat demokrasi dengan memperkenalkan pemilihan presiden langsung, otonomi daerah, dan kebebasan pers. Lahirnya lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, keterbukaan politik memberi ruang bagi berbagai kelompok masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Pemilu yang lebih terbuka dan partisipatif dianggap sebagai indikator keberhasilan Reformasi dalam memperkuat demokrasi.
Meski demikian, semangat Reformasi seolah mengalami kemunduran di tengah perjalanan. Korupsi masih merajalela bahkan melibatkan pejabat tinggi negara. KPK yang awalnya menjadi simbol perjuangan melawan korupsi justru mengalami pelemahan melalui revisi UU KPK yang kontroversial pada 2019.
Kemiskinan dan ketimpangan sosial masih menjadi masalah pelik. Angka kemiskinan tidak menunjukkan perbaikan signifikan, bahkan meningkat di beberapa daerah. Pemerataan ekonomi yang diharapkan dari desentralisasi justru menghadapi kendala akibat lemahnya pengelolaan anggaran daerah dan praktik korupsi lokal.
Jika ditinjau secara kritis, Reformasi memang tidak sepenuhnya gagal. Demokrasi terlembaga dengan baik, dan kesadaran politik masyarakat meningkat. Namun, praktik demokrasi itu sendiri seakan terjebak dalam politik pragmatis dan oligarki baru. Ketika kekuasaan terpusat dahulu, kini ia tersebar di berbagai elit lokal yang tidak kalah kuatnya.
Dalam konteks pemberantasan KKN, meski ada kemajuan dalam regulasi dan pengawasan, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Lemahnya supremasi hukum dan intervensi politik dalam penegakan hukum menjadi penyebab utama gagalnya reformasi pada aspek ini.
Reformasi seharusnya menjadi ruang untuk terus berbenah, bukan malah berpuas diri dengan capaian yang ada. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam mengawasi jalannya demokrasi agar tetap berada pada rel yang benar. KPK harus dikembalikan pada posisi kuatnya sebagai lembaga independen.
Arah Reformasi perlu diperbarui dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat sipil, pendidikan politik yang lebih bermutu, dan partisipasi aktif dalam pengawasan pemerintah. Jika tidak, Reformasi akan kehilangan ruhnya dan hanya tinggal jargon politik belaka.