Suara Abadi: Pertemuan Iwan Fals dan WR Supratman

Oleh: Firman Tendry Masengi.*

Kramat, 1928.

Senja baru saja turun di tanah Batavia. Di beranda sebuah rumah sederhana di bilangan Kali Pasir, belakang HIS Schompen (sekarang Menteng 31), seorang lelaki bertubuh kurus dengan kopiah lusuh dan kacamata tebal duduk dengan biola di pangkuannya. Dialah Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu “Indonesia Raya” yang mulai diburu pemerintah kolonial.

Sore itu, seorang pemuda berambut gondrong datang menenteng gitar. Wajahnya penuh gurat gelisah zaman, tapi langkahnya mantap. Pemuda ini baru saja nongkrong di Koningsplein—yang pada masa Jepang disebut Ikada. Seharian ia menyaksikan Istana Putih, melihat bocah bumiputra tidur berbantal lengan kurus, dengan belekan dan ingus mengering di wajah. Usai merenungi kenyataan itu, ia memutuskan untuk menemui komposer terbaik sebelum pulang naik andong ke Condet.

Iwan Fals: “Saya dengar Bapak Wage bikin lagu yang bikin Belanda ketar-ketir.”

WR Supratman: “Lagu itu cuma cermin dari hati rakyat yang ingin merdeka.”

Iwan tersenyum, duduk, dan membuka sarung gitarnya. Senarnya sudah usang, tapi semangatnya tetap membara.

Iwan Fals: “Saya juga bikin lagu. Tapi zaman saya… rakyat sudah merdeka, katanya. Tapi tetap lapar, tetap takut bicara.”

WR Supratman (tertawa kecil): “Merdeka tanpa keadilan, itu semu. Kau penyanyi, Bung?”

Iwan Fals: “Saya penyaksi.”

WR Supratman: “Penyaksi?”

Iwan Fals: “Saya menyanyikan kesaksian zaman. Tentang petani digusur, mahasiswa dipukul, rakyat dibohongi. Saya tidak punya senjata, tapi saya punya suara.”

WR Supratman memandang pemuda itu dengan tatapan dalam. Dengan tangan gemetar, ia mulai memainkan biolanya pelan. Nada-nada lirih “Indonesia Raya” merayap di udara sore yang tenang.

Iwan menyambung dengan petikan gitarnya. Ia mulai menyerap makna dan kemegahan cita-cita dari lagu tersebut.

Iwan kemudian menceritakan kesaksiannya tentang negara yang mereka perjuangkan. Merdeka tapi bingung.

“Aku melihat Jakarta membara… Aku mendengar suara jerit yang tak pernah sampai… Aku menyaksikan keringat yang diperas tanpa upah… Aku menyimpan semua luka dalam lagu…”

Suara Iwan tercekat. Ia diam sejenak dan melanjutkan kesaksiannya.

“Semua telah tercatat di langit yang kelabu… Semua telah tertulis di tanah yang kelu… Aku adalah saksi, bukan hakim, bukan algojo… Tapi aku takkan diam, karena diam adalah dosa.”

WR Supratman terdiam sejenak.

“Merdeka bukan hadiah, Bung Iwan. Ia harus dinyanyikan, dikutuk, dan diperjuangkan terus-menerus.”

Iwan Fals: “Kalau begitu, mari kita nyanyikan bersama. Untuk mereka yang mati di sawah, di jalan, di penjara. Untuk yang hidup tapi tak bebas.”

Di bawah langit malam, dua musisi dari dua zaman menyatukan suara mereka. Satu dengan biola perjuangan, satu dengan gitar kesaksian. Dalam nada mereka, Indonesia Raya tak hanya berkumandang—roh suci yang menjaga.

Iwan menggapai gitarnya, dan lirih syair melantun dengan petikan halus jemarinya.

Wage bangkit meraih biola dan busur. Refleks sang maestro menyatukan harmoni dengan pizzicato dawainya.

Iwan bersenandung:

“Aku mendengar suara jerit makhluk terluka…
Luka luka hidupnya luka…
Orang memanah rembulan…
Burung sirna sarangnya…
Sirna sirna hidup redup alam semesta luka…
Banyak orang hilang nafkahnya…
Aku bernyanyi menjadi saksi…
Banyak orang dirampas haknya…
Aku bernyanyi menjadi saksi…
Mereka dihinakan tanpa daya…
Ya tanpa daya terbiasa hidup sangsi…
Orang orang harus dibangunkan…
Aku bernyanyi menjadi saksi…
Kenyataan harus dikabarkan…
Aku bernyanyi menjadi saksi…
Lagu ini jeritan jiwa…
Hidup bersama harus dijaga…
Lagu ini harapan sukma…
Hidup yang layak harus dibela…
Aku bernyanyi menjadi SAKSI.”

Keduanya berlinang air mata, menyadari bahwa suara mereka abadi dalam perjuangan.

Tamat.

*Praktisi Hukum, Aktivis ProDem dan Penikmat Seni

Simak berita dan artikel lainnya di Google News

News Feed.