Di tengah arus deras kritik terhadap kondisi pemerintahan dan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara, Firman Tendry Masengi, seorang praktisi hukum dan aktivis ProDem, melontarkan pandangan tajam mengenai matinya Pancasila sebagai fondasi bernegara dan berubahnya konstitusi menjadi sekadar kosmetik belaka.
Dalam tulisannya yang berjudul ‘Pancasila Telah Mati, Konstitusi Sekadar Kosmetik’, Firman mengawali dengan sebuah refleksi mendalam: ‘Negara hukum tanpa etika adalah kehampaan, dan moralitas tanpa konstitusi adalah kekacauan.’ Kalimat ini seolah menjadi pembuka dalam mengkritik bagaimana etika, moral, dan konstitusi kehilangan makna substansialnya di tengah praktik politik saat ini.
Menurut Firman, etika merupakan nilai dasar yang mengedepankan kejujuran, tanggung jawab, dan kelayakan moral pejabat publik. Etika seharusnya menjadi pagar sebelum hukum turun tangan. Namun, Firman melihat realitas yang berbanding terbalik: pelanggaran etika kini dianggap lumrah, bahkan dilegalkan dengan narasi politik. Ia menyebut kondisi ini sebagai bukti bahwa Pancasila telah mati.
“Philosophy Grondslaag negeri ini dibelati apparatus ideologinya,” tulis Firman dalam nada yang getir.
Salah satu contoh konkret yang diangkat adalah kasus di mana pejabat publik menggunakan dokumen akademik yang keasliannya diragukan. Ironisnya, institusi pendidikan dan penyelenggara pemilu justru memilih bungkam, bahkan terkesan mendukung.
Firman menekankan bahwa moralitas dalam penyelenggaraan negara tidak hanya soal hukum, tetapi juga soal keteladanan. Ia mengingatkan bahwa banyak bangsa besar runtuh bukan karena perang, tetapi karena korupsi moral para penguasanya.
“Jika kebohongan pejabat dianggap hal biasa, manipulasi dipandang tidak berdosa, dan jabatan menjadi milik pribadi, maka generasi muda akan meyakini bahwa jalan curang lebih efektif dibandingkan kejujuran,” kata Firman dengan penuh keprihatinan.
Lebih jauh, Firman mengkritisi pergeseran fungsi konstitusi dari hukum tertinggi menjadi dokumen pesanan yang ditafsirkan elastis sesuai kepentingan politik sesaat. Uji materi di Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjaga cita-cita republik, tetapi menjadi arena kompromi kekuasaan.
“Ketika pelanggaran terhadap konstitusi tidak lagi memiliki konsekuensi, negara berubah dari rule of law menjadi rule by power,” tegasnya.
Walau demokrasi tampak berjalan melalui pemilu, sidang DPR, dan mekanisme peradilan, Firman menilai semua itu tak lagi menjamin keadilan jika tidak ditopang oleh etika, moral, dan penghormatan terhadap konstitusi. “Demokrasi tanpa etika adalah teater, moral tanpa sanksi adalah ilusi, dan konstitusi tanpa jiwa adalah kosmetik,” kata Firman.
Menurut Firman, bangsa ini tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan keteladanan. Tidak kekurangan regulasi, tetapi kekurangan rasa malu. Ia mengusulkan perubahan sistemik yang berlandaskan pada etika hidup dan moral yang bermartabat, agar konstitusi tidak sekadar dikutip, tetapi benar-benar dihormati.
Pandangan kritis Firman Tendry Masengi ini menggugah kesadaran publik akan pentingnya menjaga nilai etika dan moral dalam praktik bernegara, serta mengembalikan konstitusi ke tempatnya sebagai hukum tertinggi, bukan sekadar dekorasi politik.