Anak Bermasalah dan Barak Militer
Oleh: Rokhmat Widodo, Pendidik di SMK Luqmanul Hakim Kudus dan Kader Muhammadiyah Kudus
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membuat kebijakan memasukkan anak bermasalah ke barak militer. Kebijakan ini memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagi yang mendukung, kebijakan ini dinilai mampu meningkatkan disiplin dan memperbaiki perilaku anak. Namun, pihak yang kontra mengkhawatirkan dampak negatif terhadap kreativitas dan perkembangan psikologis anak.
Pendekatan militer dalam menangani anak bermasalah bukanlah hal baru. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, pernah menerapkan program serupa melalui kamp pelatihan disiplin bagi remaja bermasalah. Para pendukung kebijakan ini meyakini bahwa barak militer mampu membentuk karakter anak dengan nilai-nilai kedisiplinan, kemandirian, dan rasa tanggung jawab.
Selain itu, lingkungan militer yang ketat dan terstruktur diyakini dapat membantu anak mengubah kebiasaan buruk dan fokus pada pengembangan diri yang lebih positif. Dalam konteks ini, pendekatan militer dipandang sebagai bentuk pembelajaran kedisiplinan melalui praktik langsung.
Di sisi lain, para pengkritik kebijakan ini berpendapat bahwa barak militer bukanlah tempat ideal bagi perkembangan anak, terutama dari sisi psikologis. Pendekatan keras dan kaku dalam lingkungan militer dikhawatirkan dapat menekan kreativitas anak. Mereka berargumen bahwa pembentukan karakter melalui metode militer dapat menciptakan tekanan mental dan rasa takut, yang justru kontraproduktif dalam proses pembinaan anak.
Selain itu, tidak semua anak bermasalah memiliki akar masalah yang sama. Beberapa di antaranya mungkin memerlukan pendekatan konseling atau rehabilitasi psikososial daripada penanganan melalui kedisiplinan keras. Oleh karena itu, generalisasi kebijakan ini dianggap tidak adil dan kurang memperhatikan kebutuhan individual.
Dari sudut pandang pendidikan, kebijakan memasukkan anak bermasalah ke barak militer perlu ditinjau lebih lanjut. Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan hanya menekankan aspek kedisiplinan. Upaya pembinaan sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, ekonomi, dan psikologis anak.
Dari perspektif psikologi perkembangan, anak pada usia remaja sangat memerlukan lingkungan yang mendukung kreativitas dan ekspresi diri. Barak militer, dengan struktur yang rigid, bisa menghambat perkembangan aspek-aspek tersebut. Selain itu, paparan pada pendekatan yang terlalu keras berpotensi menyebabkan trauma dan membentuk kepribadian yang pasif atau justru agresif.
Secara kebijakan sosial, program semacam ini perlu dilengkapi dengan pendekatan rehabilitasi yang holistik. Anak-anak yang terlibat dalam kenakalan remaja sering kali berasal dari lingkungan yang tidak mendukung. Oleh karena itu, program pencegahan dan pembinaan seharusnya lebih inklusif, melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi dalam menangani anak bermasalah dengan memasukkan mereka ke barak militer merupakan langkah berani namun penuh kontroversi.
Meski memiliki sisi positif dalam membentuk disiplin, kebijakan ini perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak mengabaikan aspek psikologis dan pendidikan anak. Alternatif yang lebih humanis dan berbasis konseling mungkin lebih efektif dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, mengatasi masalah kenakalan remaja memerlukan kolaborasi banyak pihak, bukan hanya dengan metode militer, tetapi juga dengan pembinaan yang lebih berfokus pada pemahaman dan pemberdayaan anak.