Oleh: Ustaz Maizar Madsury Lc, M.Pd, Ketua PDM Kota Bogor
Di sebuah ruang konsultasi medis yang tenang, Dafa menatap lantai dengan pandangan penuh kebingungan. Di depannya, seorang dokter menjelaskan prosedur vasektomi dengan suara lembut namun tegas. Istrinya, Aisyah, duduk di sampingnya, menggenggam tangan Dafa erat-erat. Setelah memiliki empat anak dan kondisi ekonomi yang semakin berat, mereka mulai mempertimbangkan vasektomi sebagai solusi.
Namun, ada yang mengganjal di hati Dafa. Bukan tentang rasa sakit atau efek samping, tapi tentang bagaimana keputusan ini dipandang oleh agama yang ia anut. Sebagai seorang Muslim yang taat, ia ingin memastikan bahwa tindakannya tidak melanggar syariat. ‘Apakah vasektomi diperbolehkan dalam Islam?’ tanyanya dalam hati.
Malam itu, Dafa memutuskan untuk mengunjungi ustaz di masjid setempat. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia menceritakan kebimbangannya. Ustaz mendengarkan dengan seksama, kemudian membuka Al Quran dan menyebutkan ayat tentang penciptaan manusia: ‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur’ (QS. Al-Insan: 2). Ia menjelaskan bahwa Allah SWT menempatkan manusia sebagai penerus di bumi melalui keturunan.
Ustaz juga mengutip QS. An-Nisa: 1, ‘Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.’ Ayat ini menggambarkan pentingnya kesinambungan keturunan dalam Islam.
Selain itu, ustaz mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk menikah dan memperbanyak keturunan: ‘Menikahlah dan perbanyaklah keturunan, karena aku akan membanggakan jumlah umatku pada hari kiamat’ (HR. Abu Dawud). Dafa mulai merasakan beratnya keputusan yang harus ia ambil.
Dalam diskusi lebih lanjut, ustaz menyampaikan pandangan ulama tentang vasektomi. Imam Nawawi dalam kitab ‘Al-Majmu’’ menegaskan bahwa sterilisasi yang permanen dilarang, kecuali jika ada darurat medis yang mendesak. Namun, ada juga pandangan dari Syaikh Yusuf al-Qaradawi yang memperbolehkan vasektomi jika dilakukan demi kemaslahatan keluarga, seperti kondisi kesehatan istri yang berisiko jika hamil lagi.
Ulama kontemporer lainnya, seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, juga menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan vasektomi harus melalui pertimbangan maslahat dan mudarat, tidak sekadar atas dasar kenyamanan pribadi. Jika ada potensi bahaya bagi ibu atau anak, maka tindakan ini dapat diterima dengan syarat persetujuan pasangan.
Dafa dan Aisyah pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, mereka menginginkan kehidupan yang lebih terencana dan terjamin bagi keempat anaknya. Namun, di sisi lain, mereka khawatir melanggar aturan agama. Setelah berdiskusi panjang, mereka memutuskan untuk menunda vasektomi dan mencari lebih banyak nasihat dari ulama lain.
Dalam pandangan penulis, vasektomi dalam Islam bukan sekadar persoalan medis, tetapi juga menyentuh dimensi spiritual dan tanggung jawab sosial. Meskipun ada kelonggaran dalam kondisi darurat, umat Islam perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai demi kenyamanan jangka pendek, kita mengabaikan prinsip dasar yang diajarkan oleh syariat.
Memutuskan untuk melakukan vasektomi sebaiknya didasari oleh pertimbangan yang matang, baik dari segi kesehatan, ekonomi, maupun aspek keagamaan. Jangan hanya bergantung pada satu pendapat, tetapi konsultasikan dengan ahli agama dan medis agar keputusan tersebut benar-benar membawa kebaikan, bukan justru penyesalan.
Pada akhirnya, Islam selalu mengedepankan kemaslahatan umat. Pilihan ada di tangan kita, namun kebijaksanaan harus menjadi landasannya.