Peneliti Senior Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, mengungkapkan bahwa potensi ekonomi kurban Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp 28,2 triliun. Angka ini meningkat dari proyeksi tahun sebelumnya, yakni Rp 24,5 triliun. Potensi ini berasal dari 2,16 juta pekurban (shahibul qurban) yang sebagian besar berasal dari kalangan kelas menengah ke atas.
Yusuf menjelaskan bahwa kurban merupakan momentum ekonomi tahunan yang selalu dirayakan dengan meriah oleh umat Muslim di Indonesia. Namun, meskipun memiliki potensi besar, kurban sering kali hanya menjadi kerumunan tanpa dampak ekonomi jangka panjang. Ia menyebutkan bahwa kurban belum mampu memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian rakyat, terutama dalam konteks pemberdayaan peternak lokal dan distribusi daging kurban yang tepat.
“Kurban adalah kesempatan ekonomi yang rutin setiap tahun, tetapi sering kali dampaknya tidak bertahan lama. Selain itu, masih ada kesenjangan distribusi daging kurban,” kata Yusuf di acara Forum Literasi Filantropi Vol 30 yang diadakakan Akademizi bertemakan “Potensi Ekonomi Kurban Strategi Pemberdayaan dan Keberlanjutan”, Rabu (7/5/2025).
Menurut Yusuf, dalam tiga hari penyelenggaraan kurban, diperkirakan ada sekitar 100 ribu ton daging kurban yang dihasilkan, dengan nilai ekonomi sekitar Rp 28 triliun. Sayangnya, meskipun jumlah tersebut cukup besar, distribusi yang tidak tepat membuat banyak daging menumpuk di perkotaan, sementara daerah pedesaan dan pelosok masih mengalami kekurangan.
Kesenjangan ini tidak terlepas dari fakta bahwa mayoritas pekurban berasal dari kalangan kelas menengah atas yang tinggal di kota besar, sehingga daging kurban cenderung menumpuk di daerah perkotaan seperti Jakarta. Bahkan, Jakarta mencatatkan surplus daging kurban hingga 10 ribu ton, sementara daerah seperti Ngawi justru mengalami defisit hingga 2 ribu ton.
Yusuf juga menyoroti kesenjangan konsumsi daging di Indonesia. Di perkotaan Jawa, seperti Jakarta dan Bekasi, tingkat konsumsi daging cukup tinggi. Sementara itu, daerah pedesaan, seperti Gunung Kidul dan Ngawi, masih sangat rendah. Demikian pula, konsumsi daging di desa-desa Jawa lebih tinggi dibandingkan desa di luar Jawa.
Salah satu permasalahan utama adalah mahalnya harga daging yang hanya bisa diakses oleh kalangan kelas atas. Hal ini turut memperparah angka stunting yang saat ini mencapai 24 persen di Indonesia. Konsumsi protein hewani, terutama daging, merupakan salah satu faktor penting dalam pencegahan stunting.
Direktur Fundraising Lazismu Pusat, Muhammad Sholeh Farabi, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai inisiatif untuk mendorong pemberdayaan peternak lokal. Lazismu telah menggelar workshop pemberdayaan peternak dengan tujuan memperkuat ekosistem kurban dari hulu ke hilir.
“Kami berfokus pada bagaimana melibatkan peternak rakyat secara lebih intensif dalam rantai nilai kurban. Masalah utamanya adalah peternak rakyat sering kali tidak terhubung langsung dengan pasar, sehingga keuntungan yang diperoleh kurang optimal,” jelas Farabi.
Untuk memperkuat daya saing peternak, Lazismu mendorong pembentukan koperasi agar peternak kecil dapat terhubung dengan pasar secara lebih profesional. Selain itu, ada upaya peningkatan kualitas daging melalui pemberian pakan yang terstandarisasi dan peningkatan manajemen keuangan peternak.
Baik Yusuf maupun Farabi menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memaksimalkan potensi ekonomi kurban. Yusuf menyebutkan bahwa lembaga filantropi dapat menjadi penghubung antara peternak kecil dan pasar besar. Selain itu, kolaborasi dengan akademisi dan pemerintah juga penting untuk memperbaiki ekosistem kurban.
“Tidak cukup hanya memikirkan kurban sebagai ritual tahunan, tetapi juga bagaimana meningkatkan kesejahteraan peternak dan mengurangi kesenjangan konsumsi daging merah,” tutur Yusuf.
Yusuf menegaskan bahwa kurban bukan sekadar ibadah, tetapi juga peluang pemberdayaan ekonomi yang melibatkan banyak pihak. Jika dikelola dengan baik, potensi ekonomi kurban bisa memberikan dampak signifikan bagi peternak kecil dan masyarakat kurang mampu.