Oleh: Yeyen Febriyani, Pendidik tinggal di Kudus
Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka, dalam beberapa kesempatan, menegaskan pentingnya pendidikan kecerdasan buatan (AI) dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Gibran memandang bahwa AI adalah masa depan, dan generasi muda Indonesia harus dibekali kemampuan adaptif terhadap teknologi ini sejak dini.
Namun, pernyataan Gibran ini menuai beragam tanggapan. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, secara kritis mengomentari bahwa AI justru dapat membuat manusia malas berpikir. “Anak-anak akan terlalu bergantung pada mesin. Semua sudah tersedia jawabannya. Maka proses berpikir bisa terganggu,” ujarnya.
Pertentangan pandangan ini mencerminkan debat besar yang sedang berlangsung di dunia pendidikan global: apakah pelajaran AI perlu diajarkan sejak SD?
China telah mengambil langkah berani. Sejak 2025, negara dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa itu mulai menerapkan kurikulum kecerdasan buatan untuk siswa SD. Pemerintah Tiongkok menilai AI sebagai tulang punggung daya saing masa depan negaranya. Tak hanya teori, siswa di China diperkenalkan pada konsep logika pemrograman, etika digital, dan bahkan diberikan proyek kecil berbasis machine learning.
Langkah China bukan sekadar simbolik. Mereka melatih puluhan ribu guru untuk menguasai teknologi dasar AI dan memperbarui infrastruktur sekolah dengan komputer, laboratorium, dan koneksi internet stabil.
Mengapa Pelajaran AI Diperlukan Sejak Dini?
-
Membangun Literasi Teknologi Sejak Awal
Generasi Alpha (anak-anak kelahiran 2010 ke atas) tumbuh dalam dunia yang dikelilingi oleh algoritma—dari YouTube, TikTok, hingga ChatGPT. Mereka bukan hanya konsumen teknologi, tapi juga calon pencipta. Jika tidak diberikan literasi sejak dini, mereka hanya akan menjadi pengguna pasif dan mudah termanipulasi oleh teknologi. -
AI sebagai Keterampilan Masa Depan
UNESCO dan World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa 65% anak-anak yang masuk SD hari ini akan bekerja di jenis pekerjaan yang saat ini belum ada. Banyak pekerjaan itu diyakini akan terkait erat dengan pemrosesan data, automasi, dan AI. Maka, mengenalkan dasar-dasar AI sejak dini bukan memaksakan kedewasaan, melainkan menyemai kesiapan. -
Mendorong Nalar dan Etika Digital
Ketakutan bahwa AI membuat malas berpikir bisa dijawab dengan kurikulum yang tepat. Justru pelajaran AI bisa menjadi ruang latihan berpikir kritis, etika teknologi, dan tanggung jawab digital. Seperti pelajaran IPA yang tidak hanya soal fakta, tetapi juga mengajarkan cara berpikir ilmiah, pelajaran AI bisa mengajarkan bagaimana kita seharusnya memperlakukan mesin dan data secara etis.
Risiko dan Tantangan di Indonesia
Meski begitu, Indonesia tidak bisa serta-merta meniru China. Ada tantangan struktural dan kultural yang harus diperhitungkan:
-
Kesenjangan Digital
Banyak SD di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) masih kekurangan listrik, apalagi akses internet stabil. Pelajaran AI berisiko menjadi beban baru yang hanya bisa diakses siswa di kota besar. -
Kesiapan Guru
Guru SD saat ini mayoritas belum familiar dengan konsep dasar AI. Bahkan dalam hal literasi digital dasar, masih banyak yang belum terbiasa. Tanpa pelatihan menyeluruh dan dukungan kurikulum yang ramah guru, pelajaran AI bisa menjadi formalitas tanpa esensi. -
Kurikulum Terlalu Padat
Beban kurikulum di SD saat ini sudah cukup berat. Menambahkan AI tanpa mengurangi pelajaran lain bisa membuat siswa kelelahan dan kehilangan waktu bermain, yang sangat penting di usia dini.
Solusi dan Rekomendasi
-
AI sebagai Proyek Tematik, Bukan Mata Pelajaran Terpisah
Di jenjang SD, pelajaran AI tidak perlu berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Cukup dimasukkan dalam pembelajaran tematik dan berbasis proyek. Misalnya, siswa kelas 5 belajar membuat cerita interaktif dengan bantuan chatbot sederhana. -
Latih Guru, Bukan Ganti Guru
Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk pelatihan intensif guru SD agar mereka bisa memahami AI secara praktis. Pendekatan ini tidak hanya membekali guru dengan kompetensi baru, tapi juga memberdayakan mereka untuk tidak tergantikan oleh teknologi. -
Fokus pada Etika dan Pemahaman Konsep
Di jenjang SD, fokus pengajaran AI sebaiknya bukan pada pemrograman rumit, tapi pada mindset: bagaimana teknologi bekerja, bagaimana berpikir logis, dan bagaimana bersikap etis terhadap informasi digital. -
Fasilitasi Daerah Tertinggal
Kementerian Pendidikan perlu membuat roadmap khusus untuk sekolah di daerah-daerah dengan keterbatasan. Pelajaran AI harus inklusif, bukan hanya untuk siswa di kota besar. Pendekatan hybrid dengan alat-alat non-digital bisa dijadikan transisi.
Pertanyaan “perlukah pelajaran AI untuk siswa SD?” tidak bisa dijawab hanya dengan “ya” atau “tidak”. Yang lebih penting adalah: bagaimana cara mengajarkannya.
Jika dirancang dengan tepat, pelajaran AI sejak SD bisa menjadi alat untuk membentuk generasi yang bukan hanya cerdas secara teknologi, tapi juga bijak dalam menggunakannya. Gibran mungkin benar bahwa kita harus mulai dari sekarang, tapi Cak Imin juga benar bahwa kita tak boleh membiarkan teknologi membunuh daya pikir anak.
Maka, yang kita butuhkan adalah jalan tengah: pelajaran AI yang membebaskan, bukan membebani. Yang menumbuhkan nalar, bukan menggantinya. Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Manusialah yang tetap harus berpikir.