Muhammadiyah Ormas Kaya, Kadernya Ada yang Kurang Sejahtera

Oleh: Rokhmat Widodo, Kader Muhammadiyah Kudus

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, bahkan sering disebut sebagai ormas dengan aset dan amal usaha terbanyak. Dari ribuan sekolah, rumah sakit, hingga universitas yang tersebar di seluruh Nusantara, Muhammadiyah menjadi simbol keberhasilan institusional umat Islam. Namun di balik kejayaan ini, terselip kenyataan pahit: masih banyak kader Muhammadiyah yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah (AUM) dalam kondisi kesejahteraan yang kurang layak.

Ironisnya, para kader ini didoktrin dengan kutipan terkenal dari KH Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Kalimat yang mengandung semangat pengabdian ini justru kerap ditafsirkan secara keliru: menjadi pembenaran atas pengabaian hak-hak ekonomi kader yang bekerja penuh waktu untuk AUM. Padahal, semangat modernisme yang diusung Muhammadiyah seharusnya membawa nilai keadilan dan profesionalisme, termasuk dalam aspek pengelolaan sumber daya manusia.

Dengan lebih dari 20.000 institusi pendidikan, 400-an rumah sakit dan klinik, serta banyak unit usaha lainnya, Muhammadiyah secara kasat mata adalah ormas dengan daya ekonomi yang kuat. Bahkan, sejumlah pengamat memperkirakan total nilai aset Muhammadiyah mencapai puluhan triliun rupiah. AUM menjadi tulang punggung dakwah Muhammadiyah yang tak hanya menyentuh aspek keagamaan, tetapi juga pelayanan sosial dan pembangunan manusia.

Namun, siapa yang menjadi penggerak utama dari keberhasilan ini? Para guru, tenaga kesehatan, dosen, staf administrasi, hingga petugas kebersihan di sekolah, rumah sakit, dan universitas Muhammadiyah. Sebagian besar dari mereka adalah kader, aktivis, atau simpatisan Muhammadiyah sendiri. Namun, dalam banyak kasus, pengupahan mereka belum memenuhi prinsip keadilan sosial.

Pernyataan KH Ahmad Dahlan sejatinya mengandung makna spiritual dan motivasi untuk tidak menjadikan organisasi sebagai alat mencari nafkah pribadi. Namun dalam praktiknya, kalimat tersebut seringkali ditarik ke dalam konteks relasi kerja yang tidak adil. Banyak AUM yang menjadikan kalimat itu sebagai tameng untuk tidak memberikan upah layak, atau menolak tuntutan profesionalisme kerja. Hal ini bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diyakini Muhammadiyah sendiri, seperti amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid (pembaruan).

Pertanyaannya: bagaimana mungkin sebuah ormas dengan basis kekayaan institusional begitu besar, masih gagal menyejahterakan sebagian kader yang mengabdi di dalamnya?

Sebagai ormas modern, Muhammadiyah seharusnya memiliki tata kelola organisasi yang transparan, akuntabel, dan profesional. Namun, di berbagai daerah, pengelolaan SDM di AUM masih diwarnai pola patronase, feodalisme kultural, dan pengabdian semu. Guru yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah Muhammadiyah misalnya, masih menerima gaji di bawah UMR. Bahkan ada dosen yang digaji berdasarkan jam pertemuan saja tanpa jaminan sosial.

Ini menunjukkan adanya ketegangan antara nilai-nilai modern (manajemen berbasis merit dan profesionalisme) dengan nilai-nilai tradisional yang menjadikan organisasi sebagai ladang amal yang “ikhlas tanpa pamrih”. Paradoks ini menjadi tantangan utama reformasi internal Muhammadiyah.

Sudah saatnya Muhammadiyah melakukan evaluasi struktural terhadap seluruh pengelolaan AUM. Prinsip-prinsip manajemen modern harus diterapkan secara konsisten:

-Audit Sumber Daya Manusia dan Pengupahan. Lakukan pemetaan menyeluruh atas kondisi SDM di AUM dan bandingkan dengan standar gaji minimum regional.

-Reformasi Sistem Rekrutmen dan Promosi. Harus ada mekanisme meritokratis, bukan hanya berdasarkan jaringan ideologis atau kedekatan.

-Pendirian Dana Kesejahteraan Kader. Muhammadiyah bisa mengalokasikan sebagian keuntungan dari unit usaha strategis untuk menyubsidi kader yang bekerja di lini bawah.

-Reinterpretasi Doktrin KH Ahmad Dahlan. Ungkapan beliau harus diluruskan maknanya dalam konteks zaman sekarang: pengabdian bukan berarti mengorbankan kesejahteraan.

Kekuatan utama Muhammadiyah bukan hanya pada banyaknya sekolah atau rumah sakit, tetapi pada keikhlasan kader yang menggerakkan semuanya. Namun keikhlasan bukanlah alasan untuk melanggengkan ketidakadilan. Justru karena nilai keikhlasan itulah, kader Muhammadiyah layak dihargai secara manusiawi dan profesional.

Muhammadiyah harus berani berbenah. Jika tidak, ormas ini akan mengalami krisis kaderisasi di tingkat akar rumput. Para kader muda akan menjauh karena merasa hanya dijadikan alat, bukan mitra. Kesejahteraan bukan hanya tuntutan ekonomi, tapi juga bentuk penghargaan atas pengabdian.

Sudah waktunya Muhammadiyah menjadi rumah yang bukan hanya memberi makna spiritual, tetapi juga kesejahteraan lahiriah. Karena keadilan sosial dimulai dari rumah sendiri.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News